Masa Depan Santri: dari Literasi Kitab ke Digital

9 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Santri adalah warisan agung bangsa ini. Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, santri telah menjadi bagian penting dalam denyut kehidupan masyarakat Nusantara. Mereka bukan hanya pelajar agama yang tekun di pesantren, melainkan juga penjaga nilai, peradaban, dan semangat kebangsaan.

Dalam sejarah panjang negeri ini, santri memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan, mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan sekaligus menjaga moral dan spiritualitas bangsa. Karena itu, membicarakan masa depan Indonesia tanpa menyinggung peran santri, ibarat menulis sejarah tanpa tinta.

Istilah santri tidak sekadar menyebut seseorang yang belajar agama, tetapi mewakili sebuah tradisi intelektual yang panjang. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam telah berdiri jauh sebelum republik ini berdiri. Dari rahim pesantren lahir tokoh-tokoh bangsa: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, KH. Imam Zarkasyi, dan banyak ulama lainnya yang tidak hanya menguasai ilmu agama dan kitab kuning (turots), tetapi juga memiliki visi kebangsaan yang kuat.

Kontribusi santri dalam perjuangan kemerdekaan tidak bisa dipungkiri. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya menjadi tonggak penting pembelaan tanah air. Dari pesantrenlah lahir semangat nasionalisme religius, yakni cinta tanah air yang tumbuh dari iman. Pengakuan negara terhadap kontribusi itu diwujudkan dengan penetapan Hari Santri Nasional, setiap 22 Oktober.

Namun, setelah tujuh dekade merdeka, tantangan yang dihadapi bangsa berubah drastis. Kita kini hidup di tengah era digital, sebuah zaman ketika informasi berlari lebih cepat dari nalar, dan opini kadang lebih kuat dari kebenaran. Di tengah derasnya arus disrupsi teknologi dan informasi, santri kembali dipanggil sejarah untuk menjadi penjaga nilai, penerang zaman, sekaligus pembawa kabar kebaikan.

Dari Literasi Kitab ke Literasi Digital

Salah satu ciri khas santri yang membedakannya dengan kelompok lain adalah kemahirannya dalam literasi kitab turots, khazanah keilmuan Islam klasik yang mencakup tafsir, fikih, tasawuf, akhlak, dan sosial kemasyarakatan. Kemampuan ini membuat santri berakar kuat pada tradisi ilmiah dan memiliki kedalaman berpikir yang luar biasa.

Namun, di era digital, kemampuan itu saja tidak cukup. Dunia kini telah berubah. Cara manusia mencari pengetahuan, berkomunikasi, dan berinteraksi banyak ditentukan oleh teknologi digital. Karena itu, santri perlu memperluas cakrawala keilmuan dari literasi kitab menuju literasi digital.

Kemampuan santri dalam literasi dan berkomunikasi menurut KH Abdullah Syukri Zarkasyi (2011) harus ditunjang oleh kemampuan menguasai permasalahan, memahami detailnya, dan memiliki daya adaptasi terhadap berbagai lingkungan dalam kehidupannya. Selain itu yang tidak kalah penting adalah bahwa santri juga dituntut untuk memiliki kemampuan secara keilmuan, emosianal, bahkan spiritual.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |