Koalisi Masyarkat Sipil Nilai Pernyataan Menhan Soal Peran DPN Keliru

4 hours ago 1

loading...

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pernyataan Menhan sekaligus Ketua DPN Sjafrie Sjamsoeddin di DPR keliru. Foto/SindoNews

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti pernyataan Ketua Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sekaligus Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin yang menyatakan, DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh pengusaha kelapa sawit.

Hal itu disampaikan Sjafrie dalam rapat bersama dengan Komisi I DPR, pada Selasa, 4 Februari 2025 lalu. Dalam rapat tersebut Sjafrie mengatakan, DPN akan bertugas mengobservasi seluruh permasalahan nasional di Indonesia.

“Kami memandang, pernyataan Sjafrie tersebut tidak hanya keliru tetapi juga merusak sistem penegakan hukum nasional dan supremasi sipil dalam sistem demokrasi di Indonesia. Pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme ala Orde Baru yang terbukti mewariskan berbagai pelanggaran HAM,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (7/2/2025)

Baca Juga

Menhan Sjafrie Sambangi Kapal Induk Nuklir Prancis, Menindaklanjuti Pembelian 42 Jet Tempur Rafale

Menurut Usman Hamid, pernyataan DPN akan mengambil peran dalam penertiban kawasan hutan, sawit, dan seluruh permasalahan nasional lainnya tidak sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan. Dalam UU Pertahanan secara eksplisit ditujukan untuk mengurus kebijakan pertahanan negara. Bukan terlibat urusan sipil non-pertahanan.

“Upaya menarik DPN ke dalam ranah non-pertahanan, termasuk juga dalam pengelolaan ekonomi, adalah bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik,” ujarnya.

Baca Juga

Sjafrie Sjamsoeddin Jadi Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional, Donny Ermawan Jabat Sekretaris

Pembentukan DPN harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman eksternal seperti perang, bukan untuk terlibat dalam urusan non-pertahanan di dalam negeri.

Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI seperti masa Orde Baru yang mewariskan kasus pelanggaran berat HAM yang tak tuntas hingga kini.

“Kami juga menilai, masalah DPN ini diawali dari pembentukan Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang memuat pasal karet. Pasal 3 huruf F, misalnya, mengatur bahwa DPN memiliki fungsi lain yang diberikan oleh Presiden. Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan,” ujarnya.

Keterlibatan DPN dalam mengurus permasalahan nasional di luar pertahanan menunjukkan gejala kembalinya dwifungsi militer dalam kehidupan bernegara.

“Kami mencatat, sebelumnya ada beberapa keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City yang berakibat pelanggaran HAM. Contoh lain, penyalahgunaan TNI dalam proyek lumbung pangan atau food-estate di Merauke, Papua Selatan yang berimplikasi besar bagi konflik aparat dengan masyarakat adat. Peran militer di Rempang Eco-City dan proyek food estate bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan sekaligus menjadi indikasi kembalinya dwifungsi ABRI,” katanya.

“Kami menilai, keterlibatan militer dalam ranah sipil harus dihindari. Keterlibatan militer di ranah non-pertahanan hanya akan menghidupkan kembali militerisme dan otoritarianisme dalam politik. Pada titik ini, keterlibatan DPN yang terlalu jauh mengurusi urusan sipil, sebagaimana pernyataan Menhan, sudah semestinya dikoreksi dan pelaksanaannya harus dihentikan. Hal ini penting untuk menyelamatkan Reformasi 1998,” katanya.

(cip)

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |