TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono menjelaskan jenis kebijakan tarif yang dikeluarkan Amerika Serikat untuk mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Menurut dia, ada tiga kebijakan tarif dagang AS yang memiliki perbedaan dalam segi implementasi dan besaran kenaikannya.
Djatmiko membeberkan perbedaan ketiga kebijakan tarif tersebut. Pertama, new baseline tariff atau most favoured nation (MFN) yang mengalami kenaikan sebesar 10 persen. Tarif MFN adalah tarif yang diterapkan suatu negara kepada semua mitra dagangnya, kecuali jika ada perjanjian perdagangan preferensial yang memberikan perlakuan khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua, tarif resiprokal. Ini sejenis tarif timbal balik atau pajak yang dikenakan suatu negara terhadap negara lain. Presiden AS Donald Trump mengenakan kenaikan tarif resiprokal kepada seluruh mitra dagangnya dengan besaran yang berbeda-beda. Indonesia mendapat kenaikan menjadi 32 persen. Walaupun saat ini kebijakan pemberlakuannya masih ditunda.
Ketiga, kenaikan tarif sektoral sebesar 25 persen dari tarif awal. Kalau tarif jenis ini sudah diberlakukan oleh suatu negara, maka kebijakan dua tarif lainnya tidak harus diberlakukan alias gugur. Artinya negara tersebut hanya dikenakan kenaikan tarif sektoral saja. Ini mencakup pada sektor ekspor baja, aluminium, otomotif, dan komponen pendukungnya.
“New baseline tariff mengalami kenaikan 10 persen sudah berlaku mulai 5 April lalu. Kemudian tarif resiprokal yang Indonesia terkena 32 persen akan berlaku 9 Juli mendatang, tapi perlu saya garis bawahi bahwa penerapan (tarif resiprokal) ditunda selama 90 hari,” kata Djatmiko kepada awak media di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin, 21 April 2025.
Djatmiko belum mengetahui pembahasan lanjutan soal tarif resiprokal yang mengalami kenaikan sebesar 32 persen tersebut. Dia juga tidak bisa berspekulasi setelah penundaan itu, apakah tarif resiprokal Amerika Serikat untuk Indonesia ini akan menurun atau malah tambah membesar.
“Pemerintah akan melanjutkan perundingan dengan Amerika Serikat. Saat ini belum ada kesepakatan apapun. Kami meminta pelaku usaha dan publik tidak membuat penafsiran yang keliru atau kurang tepat atas situasi yang ada dan tetap mengikuti anjuran pemerintah,” ucap Djatmiko.
Sebelumnya, Indonesia sudah mengirimkan tim delegasi untuk menegosiasi pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat itu. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan salah satu tawaran untuk menego kebijakan ini dengan meningkatkan pembelian produk dari AS hingga memberi insentif bagi perusahaan asal negara Paman Sam yang beroperasi di Tanah Air.
Indonesia juga berencana untuk terus membeli produk agrikultur, antara lain gandum, soya bean dan soya bean milk. Pemerintah juga meningkatkan pembelian barang-barang modal dari AS. Kemudian, Indonesia memfasilitasi perusahaan-perusahaan AS yang selama ini beroperasi di Indonesia.
Pemerintah juga menawarkan kerja sama terkait dengan mineral strategis atau critical mineral. Indonesia juga akan memberi kemudahan prosedur impor untuk produk-produk termasuk produk hortikultura dari Amerika.
Tawaran lain dalam perundingan adalah kerja sama antar negara di sektor investasi. Indonesia, kata Airlangga, mendorong agar investasi dilakukan secara business to business. Didorong pula penguatan kerja sama di sektor pengembangan sumber daya manusia, antara lain untuk sektor pendidikan, sains, teknologi, engineering, matematika, ekonomi digital.
Tim delegasi juga bernegosiasi untuk penerapan tarif yang lebih kompetitif dengan negara-negara yang juga bersaing dengan Indonesia. Saat ini produk ekspor utama Indonesia, seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang menjadi produk yang dipatok tarif tinggi dibanding negara lain di ASEAN maupun di luar kawasan ASEAN.