Kejagung Periksa 3 Tersangka Suap Vonis Ekspor CPO

1 day ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung memeriksa tiga tersangka dalam kasus suap vonis lepas pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Mereka adalah Ariyanto, Marcella Santoso, dan Muhammad Arif Nuryanta. "Ini sifatnya pemeriksaan lanjutan," kata Kepala Pusat Penerangan Kejagung Harli Siregar di kantornya pada Kamis, 17 April 2025.

Ariyanto dan Marcella SantosoI adalah pengacara korporat, sedangkan Arif Nuryanta adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Harli menuturkan, pemeriksaan berlangsung sejak pagi. Sedangkan untuk materi pemeriksaan hanya penyidik yang mengetahui.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perkara suap ini, Kejaksaan Agung telah mengumumkan nama delapan tersangka. Mereka adalah advokat Ariyanto alias Ary Bakri dan Marcella Santoso, panitera Wahyu Gunawan, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Head of Social Security and License Wilmar Group Muhammad Syafei, serta majelis hakim perkara korupsi CPO yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Menurut keterangan resmi Kejaksaan Agung pada 15 April 2025, perkara ini bermula dari persamuhan advokat Ariyanto dengan panitera Wahyu Gunawan. Pada saat itu, Wahyu mengatakan perkara minyak goreng harus 'diurus'. Jika tidak, putusannya bisa maksimal, bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Dalam pertemuan itu, Wahyu juga menanyakan ihwal biaya yang disediakan terdakwa korporasi. Namun, Ariyanto belum bisa menjawab karena harus bertanya dulu kepada kliennya. 

Informasi dari Wahyu kemudian disampaikan Ariyanto kepada Marcella Santoso sebagai pengacara korporat. Marcella lalu bertemu dengan Muhammad Syafei selaku Head of Social Security and License Wilmar Group di restoran Daun Muda, Jakarta Selatan.

Kepada Syafei, Marcella mengatakan panitera Wahyu Gunawan bisa membantu mengurus perkara koruspsi CPO yang sedang mereka tangani. Saat itu, Syafei mengatakan sudah ada tim yang mengurusnya.

Dua pekan kemudian, Ariyanto dihubungi kembali oleh Wahyu Gunawan. Saat itu, Wahyu menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto lalu meneruskan informasi tersebut kepada Marcella. Marcella kembali bertemu dengan Syafei di rumah makan yang sama seperti sebelumnya. Saat itu, Syafei mengatakan biaya yang disediakan korporasi adalah Rp 20 miliar untuk mendapatkan putusan bebas.

Ariyanto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

Dalam persamuhan tersebut, Muhammad Arif Nuryanta mengatakan perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas, namun bisa diputus ontslag. Istilah itu adalah kependekan dari ontslag van alle recht vervolging, yang berarti terdakwa terbukti melakukan perbuatan, namun dinyatakan bukan sebagai tindak pidana. Ia lalu meminta uang Rp 20 miliar dikali tiga, sehingga menjadi Rp 60 miliar.

Panitera Wahyu Gunawan lalu menyampaikan kepada Ariyanto agar menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar. Setelah ada permintaan tersebut, Ariyanto menginformasikannya kepada Marcella. Perempuan itu lalu menghubungi Syafei yang kemudian menyanggupi permintaan itu dalam mata uang dolar Singapura atau dolar Amerika Serikat. 

Tiga hari kemudian, Syafei menghubungi Marcella. Ia mengatakan, uang yang diminta sudah siap dan menanyakan lokasi untuk mengantarkannya. Marcella lalu memberikan nomor handphone Ariyanto. 

Setelah ada komunikasi antara Ariyanto dan Syafei, keduanya bertemu di parkiran di kawasan Sudirman Central Business District atau SCBD. Syafei lalu menyerahkan uang tersebut kepada Ariyanto. Uang itu lalu diantar kepada Wahyu Gunawan di Klaster Ebony, JI. Ebony 6, Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

Wahyu kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta. Hakim itu lantas memberikan US$ 50 ribu kepada Wahyu. 

Dalam keterangan resmi Kejaksaan Agung pada 14 April 2025, uang itu lantas diberikan Arif kepada majelis hakim yang menangani kasus CPO. Yakni, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Usai terbit penetapan sidang, Arif memanggi ketiganya dan memberikan uang dolar Amerika Serikat setara Rp 4,5 miliar untuk membaca berkas perkara, serta memberikan atensi terhadap kasus itu.

Uang itu lalu dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh Agam Syarif Baharuddin. Duit itu lantas dibagi tiga untuk hakim yang mengadili perkara tersebut.

Pada sekitar September atau Oktober 2024, hakim Arif kembali menyerahkan uang dolar Amerika Serikat yang setara dengan Rp 18 miliar. Duit itu diserahkan kepada Djuyamto. Ketua Majelis Hakim itu lalu membagi tiga uang tersebut di depan Bank BRI Pasar Baru, Jakarta Selatan dengan porsi: 

1. Agam Syarif Baharuddin menerima uang dolar yang setara Rp 4,5 miliar;  

2. Djuyamto menerima uang dolar setara Rp 6 miliar, yang diberikan kepada Panitera Rp 300 juta; 

3. Ali Muhtarom menerima uang berupa dolar yang setera Rp 5 miliar. 

Sehingga total seluruhnya yang diduga diterima ketiga hakim itu adalah Rp 22 miliar. Menurut Kejaksaan Agung, Majelis Hakim mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut agar perkara CPO diputus ontslag

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |