TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah menetapkan ketentuan baru mengenai pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.
“Transisi energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: i. Percepatan pengakhiran masa operasional PLTU,” bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf i dalam beleid yang diteken Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Jakarta pada Kamis, 10 April 2025 tersebut. Lantas, apa saja syarat PLTU yang bisa pensiun dini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengacu pada Peraturan Menteri ESDM yang sama, pelaksanaan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU memperhatikan beberapa kriteria paling sedikit berupa kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca PLTU, nilai tambah ekonomi, ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri, serta ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri.
Selain itu, pensiun dini PLTU batu bara dilakukan dengan memperhatikan keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif tenaga listrik, dan penerapan aspek transisi energi berkeadilan (just energy transition).
“Dalam hal terdapat ketersediaan dukungan pendanaan, pelaksanaan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU harus didahului dengan kajian percepatan pengakhiran masa operasional PLTU,” demikian petikan Pasal 12 ayat (1) Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2025.
Adapun kajian pensiun dini PLTU dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara atau PT PLN (Persero) berdasarkan penugasan dari menteri. Kajian yang dimaksud disusun dengan ketentuan sebagai berikut:
- Dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak penugasan dari menteri.
- Memuat paling sedikit aspek teknis, hukum, komersial, dan keuangan, termasuk sumber pendanaan, serta penerapan prinsip tata kelola yang baik dan business judgement rules (melindungi kewenangan direksi dalam pengambilan keputusan).
- Dapat memanfaatkan berbagai kajian dari lembaga independen sebagai referensi tambahan.
“Dokumen dukungan pendanaan harus menjadi bagian dari dokumen perikatan mengenai pelaksanaan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dilakukan oleh pemberi dukungan pendanaan dengan pemerintah dan/atau PT PLN (Persero),” bunyi Pasal 13 Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2025.
Sebelumnya, Bahlil mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa memaksakan diri untuk segera menghentikan operasional PLTU batu bara bila belum ada kepastian pendanaan. Menurut dia, walaupun sejumlah lembaga keuangan telah menjanjikan pendanaan, tetapi belum ada realisasi yang konkret.
“Kami disuruh paksa untuk pensiunkan PLTU, siapa yang membiayai? Dijanjikan ada lembaga donor yang membiayai, mana ada, sampai sekarang belum ada, zero,” kata Bahlil dalam acara “Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru” di The Westin, Jakarta, pada Kamis, 30 Januari 2025.
Dia mengungkapkan bahwa Just Energy Transition Partnership (JETP) menjadi salah satu lembaga donor yang berkomitmen mendanai penghentian operasional PLTU batu bara di Indonesia. Namun, dia menyebut transisi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan tidak bisa dilakukan tanpa adanya kepastian pendanaan.
Dia menuturkan, pemerintah Indonesia tidak akan menggelontorkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk mendanai pensiun dini PLTU. Selain itu, pemerintah juga tidak ingin membebani PLN dengan penerbitan surat utang baru demi mempercepat pelaksanaan penghentian operasional pembangkit listrik energi fosil.
“Masak dana APBN, atau PLN membuat bon baru lagi untuk membiayai itu,” ucap Bahlil.
Menurut Bahlil, Indonesia mendukung transisi energi terbarukan, tetapi pemerintah menyoroti besarnya biaya yang dibutuhkan untuk memensiunkan PLTU. Apabila kepastian pendanaan belum jelas, maka pemerintah tetap memprioritaskan ketersediaan energi dalam negeri, termasuk dari energi berbasis fosil.
“Kita mau (pensiun dini PLTU), tapi ada uangnya dulu. Kalau nggak ada, kita harus memproteksi kebutuhan dalam negeri dulu. Jadi harus fair,” ujar Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu.