DEPOK atau DEPOT? Kota yang Berhenti di Loket 'Kepentingan', Pembangunan Masjid Jadi Tumbal!

2 hours ago 2
 Dok RUZKA INDONESIA) Megahnya maket Masjid Al Quddus Depok di pinggir Jalan Margonda Raya yang pembangunannya dibatalkan Wali Kota Depok, Supian Suri tanpa alasan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Lampu neon di langit-langit kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok memantul tenang pada meja-meja kayu dan deretan kursi plastik yang terbungkus kain putih tersusun rapi.

Malam itu, Selasa, (4/11/2025), di kantor PWI Kota Depok, sekitar lima puluh wartawan memenuhi ruangan. Di dinding belakang meja duduk, spanduk putih terbentang jelas: “Sosialisasi Tugas dan Wewenang Komisi D DPRD Kota Depok – Tahun Sidang 2025.” Di bawahnya tercetak nama nara sumber utama forum ini, Ade Supriyatna – Ketua DPRD Kota Depok.

Dengan tenang, Ade memulai paparannya. Ia menyampaikan bahwa Komisi D bertanggung jawab mengawasi urusan pendidikan, kesehatan, sosial, hingga kesejahteraan masyarakat.

Ia bicara tentang peran, anggaran, dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Semua terdengar rapi, sesuai buku pedoman demokrasi.

Baca juga: Ketua DPRD Depok Sosialisasi Tugas dan Wewenang Komisi D, PWI Kritik Kepemimpinan Supian Suri yang Didikte Partai Pendukung

Namun di balik kata-kata formal itu, ada pertanyaan yang merambat pelan di antara para wartawan: apakah kewenangan itu benar-benar bisa berjalan murni, atau tetap harus melalui persimpangan politik terlebih dahulu?

Depok seolah punya istilah tak tertulis: Politik DEPOT yang bisa diplesetkan menjadi Depok Penuh Konsensus Tawar-Menawar. Seperti sebuah gudang besar, setiap kebijakan harus singgah sebentar.

Di sana, ia ditimbang, dinegosiasi, disesuaikan dengan selera dan kepentingan yang tak tertulis. Barulah ia dilepas ke publik, sebagai keputusan resmi pemerintah.

Contoh paling terasa muncul ketika nama Masjid Al Quddus disebut. Rencana pembangunan masjid di lahan bekas SDN Pondok Cina Margonda telah disepakati, bahkan anggarannya—Rp20 miliar—sudah masuk dalam pembahasan.

Baca juga: Ada Apa dengan Pencoretan Anggaran Pembangunan Masjid Margonda Depok? Sungguh Menyakitkan Perasaan Umat

Namun tiba-tiba, pembangunan Masjid Al Quddus di Jalan Margonda itu dibatalkan tanpa alasan yang benar-benar 'masuk akal'.

Di forum itu, Ade tak menyalahkan siapa pun, tetapi nada suaranya menyimpan heran. Seolah keputusan tak lagi lahir dari sidang-sidang di balai kota, melainkan dari ruang yang tak tercatat dalam tata tertib pemerintahan.

Di sinilah wajah Politik DEPOT seperti terasa nyata. Pemerintah berbicara tentang pelayanan publik, tetapi seringkali yang lebih dulu dilayani adalah kalkulasi politik.

Dewan menyebut kata pengawasan, tetapi publik tahu, beberapa keputusan justru terasa tunduk pada peta kekuatan partai.

Baca juga: Naif! Anggaran Pembangunan Masjid Agung Dibatalkan, Kental Politisasi

Wali kota meski hadir dari suara rakyat, seolah tetap harus memastikan setiap langkahnya selaras dengan garis pendukung.

Ketua PWI Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah, pada malam itu juga mengingatkan, pers punya tugas untuk mengawal itu semua. Katanya, indeks demokrasi Depok memang tinggi, kebebasan pers terjaga.

Namun kebebasan itu bukan hanya soal boleh menulis, tetapi keberanian mencatat yang tak diucapkan. Termasuk ketika kebijakan publik terhambat bukan karena teknis, tetapi karena belum mendapat lampu hijau dari meja politik.

Dalam suasana yang cair, sejumlah wartawan mulai mencatat lebih pelan. Bukan hanya ucapan yang terekam, tetapi juga jeda di antaranya. Jeda yang menandakan bahwa sebagian kebijakan di kota ini tidak lahir dari ruang pertemuan seperti malam itu, melainkan dari pertimbangan yang jauh lebih sunyi.

Baca juga: PKS Minta Pemkot Depok Wujudkan Pembangunan Masjid Raya Margonda

Lalu muncul pertanyaan lain: siapa yang sesungguhnya memegang kemudi? Apakah wali kota memimpin dengan kewenangan penuh, atau hanya mengarahkan kendaraan yang jalurnya sudah ditentukan sejak awal? Pertanyaan ini tak pernah diucapkan langsung dalam forum—tetapi terasa hadir, duduk di antara gelas kopi dan catatan wartawan.

Depok bukan kota yang miskin ide, pejabat, atau forum diskusi. Yang kerap hilang justru keberanian mengeksekusi kebijakan tanpa menunggu restu dari terlalu banyak pintu.

Di banyak sudut, pemerintah bekerja. Tetapi publik sering kali merasakan, sebelum masuk ke meja rakyat, suatu keputusan harus terlebih dahulu mengantre di loket kepentingan.

Sosialisasi malam itu tetap berjalan menyejukkan. Ade menutup dengan ajakan kolaborasi antara dewan dan pers. Tepuk tangan terdengar sopan.

Baca juga: Depok akan Bangun Masjid di Jalan Margonda, Tipenya Masjid Agung atau Masjid Jami, Ini Penjelasannya

Namun ketika satu per satu wartawan berkemas, sebagian dari mereka tahu, tugas mereka bukan hanya menulis apa yang tercetak di backdrop, tetapi juga mengingatkan bahwa kewenangan publik tidak boleh sepenuhnya dikelilingi kompromi.

Karena apa artinya demokrasi, bila keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus lebih dulu disetujui meja politik, bukan meja rakyat?

Depok akan terus berjalan—rapat dewan terus digelar, spanduk pembangunan terus terpasang, dan warga tetap beraktivitas seperti biasa.

Tapi jika politik tawar-menawar ini dibiarkan menjadi bahasa sehari-hari kekuasaan, maka kebijakan akan selalu datang terlambat. Dan rakyat akan terus duduk di ruang tunggu, berharap giliran mereka tetap dipanggil. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |