Catatan Cak AT: Ghirah yang Kian Gersang

18 hours ago 2

 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Ghirah yang Kian Gersang. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada yang tak biasa dari raut wajah sang profesor gaek pagi itu. Tatapannya tidak menatap buku, bukan pula meresapi tafsir; melainkan memandangi anak-anak muda di sekitar masjid, yang tampak lebih khusyuk memperbaiki filter wajah ketimbang memperbaiki wudlu mereka.

Tangannya yang sepuh menggenggam tasbih, tetapi pikirannya sibuk mencatat gejala sosial yang kian hari makin sulit disangkal: hilangnya ghirah beragama di tengah generasi yang katanya religius. Kesimpulan ini ditulisnya dengan singkat, lalu disebarnya ke media sosial.

Prof. Asep Usman Ismail bukan orang baru dalam dunia pendidikan Islam. Ia telah makan asam garam dari Ibtidaiyah hingga senat akademik.

Baca juga: KLHK Verifikasi Program Kampung Lingkungan Jatijajar Depok

Tapi kali ini ia turun langsung ke medan umat, bukan untuk memberi seminar, melainkan untuk mengamati lebih dalam.

Ia menyimak denyut nadi iman yang perlahan-lahan terdengar seperti detak baterai handphone tua: nyaris habis. “Saya temukan penyakit yang krusial di kalangan anak muda generasi baru,” katanya dengan nada lirih, “dan bisa kronis kalau dibiarkan.”

Ia menyebutnya penyakit hilangnya ghirah beragama —sebuah istilah yang barangkali kini jarang terdengar di mimbar Jumat, apalagi dalam keseharian kita. Ini jenis penyakit sosial yang menghantui masyarakat dari zaman ke zaman.

Baca juga: Pemkot Depok Raih Penghargaan Pembangunan Daerah Tingkat Provinsi

Ghirah, kata Buya Hamka dalam bukunya Ghirah: Cemburu Karena Allah, adalah “semangat batin yang membuat seorang mukmin merasa gelisah bila syariat ditinggalkan, dan bangga bila ia bisa menegakkan agama.” Dalam satu kalimat terkenalnya, ia menulis:

“Orang yang tak lagi cemburu bila agamanya diabaikan, sejatinya telah hilang rasa cinta kepada-Nya.”

Sayangnya, cinta yang hilang itu kini disembunyikan dalam balutan konten Islami. Abai terhadap agama bukan lagi karena tidak tahu, tapi karena tak terasa penting. Maksudnya: abai dalam menjalankan perintah agama, sambil tetap merasa religius.

Para milenial bisa hafal nama-nama ulama dari thumbnail YouTube, tapi gemetar mencari arah kiblat saat baterai mati. Salat bukan lagi dimaknai sebagai dialog ruhani, tapi sekadar jeda beberapa menit di antara dua notifikasi.

Baca juga: Dari Daun Kaliandra Menuju Energi Bersih, Inovasi Aditif Ramah Lingkungan

Profesor Asep mencatat: generasi sekarang tahu agama, tapi sebatas wacana. Mereka bisa menjelaskan fikih tayamum dengan tiga dalil, tapi tetap memilih skip salat magrib karena nonton drama Korea yang "tinggal dikit lagi tamat."

Bahkan ada yang dengan mantap berkata, “Nanti saya salat kalau sudah dapat feel-nya.” Entah sejak kapan ibadah harus menunggu mood. Seolah perasaan dan kewajiban agama bisa jadi variabel fleksibel untuk menentukan arah: ke jurang neraka Wail atau ke taman Surga.

Fenomena ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari pergeseran fungsi pendidikan agama. Yang tadinya menanamkan iman, kini sekadar menyampaikan informasi. Guru-guru agama dipaksa menyelesaikan silabus, bukan menyalakan hati.

Salat akhirnya hanya menjadi soal pilihan ganda, bukan panggilan suci. “Saya temukan,” katanya, “anak-anak bisa menjelaskan rukun iman, tapi tidak merasakan iman. Mereka tahu Allah Maha Melihat, tapi lupa bahwa kamera CCTV masjid juga melihat mereka rebahan waktu azan.”

Baca juga: Catatan Cak AT: Simulakra Koperasi Desa

Di rumah, agama diajarkan seperti menyuruh makan sayur: wajib tapi tidak disukai. Alih-alih mengajak anak ke masjid, orang tua justru berkata, “Kamu saja yang salat, Bapak masih capek.” Maka jangan heran bila ghirah itu menguap, karena yang ditiru lebih kuat dari yang diajarkan.

Kang Asep, sambil menghela napas panjang dan memandangi kalender Hijriah yang makin ditinggalkan, menawarkan jalan keluar yang tak muluk-muluk. Ia bilang, “Kita tidak butuh program hebat. Kita butuh hati yang terus dinyalakan agar senantiasa hidup.”

Ia memberi contoh: para guru di madrasah, atau ibu-ibu di rumah, hendaknya rajin menceritakan kisah-kisah yang menghidupkan iman. Kisah para pahlawan Muslim yang dulu membakar semangat umat sepanjang zaman patut jadi santapan anak-anak.

Salahuddin Al-Ayyubi yang tak pernah meninggalkan salat malam di tengah medan jihad, atau Muhammad Al-Fatih yang hafal Qur’an sebelum menaklukkan Konstantinopel —jangan sampai kalah pamor oleh tokoh anime yang bisa berubah bentuk kalau sedang marah.

Baca juga: Legislator PKS Jabar Kritik Jam Masuk Sekolah Pukul 06.30 WIB: Tak Bisa Disamaratakan

Menurut Asep, generasi kita butuh kisah nyata, bukan sekadar fiksi manhwa. Di sebuah sore yang senyap, setelah berjamaah hanya berdua dengan marbot masjid, tak jarang ia menatap bangku-bangku kosong dan berbisik: “Kita sedang kekurangan bukan jamaah, tapi ghirah.”

Barangkali, sudah waktunya kita bertanya: mengapa generasi ini tahu agama, tapi tidak menghayatinya? Mengapa mereka hafal nama-nama surah, tapi tak tergugah oleh maknanya? Jawabannya, kata Buya Hamka, mungkin sesederhana ini:

“Iman yang tak diberi cinta akan menjadi beku. Dan ghirah yang tak dipelihara akan menjadi debu.”

Di zaman ketika semua hal bisa dijadwal dan dijeda, hanya satu yang tidak boleh ikut-ikutan: iman. Karena jika ghirah itu benar-benar mati, jangan salahkan mereka bila suatu hari nanti bertanya, “Salat itu wajib, ya? Masih relevan nggak sih?”

Baca juga: Catatan Cak AT: Religius Tapi Korupsi

Dan ketika itu terjadi, barangkali satu-satunya yang bisa kita katakan hanyalah ungkapan penyesalan yang terlambat: “Maaf, kami terlalu sibuk mengajarkan agama, sampai lupa menghidupkan dan menyalakan iman di dada.”

Esai ini saya tulis sebagai bentuk keprihatinan, bukan cercaan. Didedikasikan kepada Prof. Asep Usman Ismail, Buya Hamka, dan setiap guru kehidupan yang terus menyalakan ghirah di tengah gelombang gawai dan ghibah. (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 31/7/2025

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |