TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan bahwa jamu bukan sekadar warisan budaya masa lalu, melainkan memiliki potensi besar untuk menjadi simbol diplomasi kesehatan Indonesia di kancah global. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM Mohamad Kashuri dalam acara peringatan Hari Jamu Nasional yang digelar di Tangerang Selatan.
“Jamu tidak sekadar ramuan, tapi juga cerminan kearifan lokal yang memiliki bukti empiris secara turun temurun dan hingga saat ini memiliki banyak bukti ilmiah,” kata Kashuri dalam acara yang dipantau secara daring pada Minggu, 25 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menambahkan bahwa obat tradisional kini semakin diminati, terlihat dari banyaknya riset dan seminar yang membahas topik tersebut. Namun, menurut Kashuri, jamu tidak seharusnya hanya menjadi obyek kajian di dalam riset dan seminar-seminar. "Oleh karenanya, jamu bukan masa lalu yang kita warisi tapi masa depan yang kita ciptakan bersama.”
Deputi II BPOM itu kemudian menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk antara Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) dengan para dokter, akademisi, dan berbagai sektor industri. Di sisi lain, BPOM sebagai otoritas pengawas di bidang obat tradisional juga mendukung pengembangan jamu melalui inovasi regulasi dan percepatan uji klinis.
Menurutnya, banyak produk yang tidak menjadi komersial karena uji klinisnya tidak berdasarkan cara yang baik. Sehingga, bukti yang didapatkan tidak sesuai dengan tujuan awal. "Oleh karenanya, kami siap melakukan pendampingan sehingga uji klinik tersebut bisa terlaksana dengan baik.”
Ia juga menyinggung keberadaan regulasi terbaru yang mendukung langkah ini. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 disebutnya telah membuka peluang bagi jamu untuk diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan nasional.
Untuk semakin mendukung hal tersebut, BPOM mendorong revisi Peraturan Menteri Kesehatan terkait Formularium Nasional (Fornas). Tujuannya, jamu bisa dimasukkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Tak hanya itu, pihaknya juga mendorong pengembangan kurikulum pendidikan tentang obat tradisional untuk meningkatkan pemahaman generasi muda terhadap potensi jamu. Ia juga berharap pemerintah memberikan insentif kepada para peneliti dan pelaku industri agar inovasi di sektor ini terus berkembang.
“Saya mengajak untuk memindahkan jamu dari halaman depan rumah kita ke panggung global," katanya sambil menambahkan, "Mari kita jadikan jamu sebagai salah satu simbol diplomasi kesehatan Indonesia di kancah global.”