Audiensi dengan Warga Rempang, Rieke Diah Pitaloka: Tak Ada Agama yang Izinkan Perampasan Tanah

3 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta- Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka meyakini kedatangan warga Pulau Rempang ke Jakarta lantaran sudah putus asa. Menurut Rieke, para korban proyek Rempang Eco City itu mengeluarkan ongkos tidak sedikit untuk bisa mengadukan permasalahan mereka kepada DPR. “Bapak, ibu, tetap semangat. Insya Allah, bagi kami, ya inilah kalau disebut jihad,” kata Rieke dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR, pada Senin, 28 April 2025. “Tidak ada satu agama pun yang mengizinkan hak atas tanah seseorang dirampas.”

Warga Rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) menolak penggusuran demi proyek pengembangan Rempang Eco City di Kota Batam, Kepulauan Riau. Rempang Eco City merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) era pemerintahan Jokowi. Pemerintah mengatur proyek ini dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023—yang ditandatangani pada 28 Agustus 2023.

Rieke menyoroti pelimpahan tanah seluas 17.000 hektare dari BP Batam untuk PT Makmur Elok Graha (MEG)—pengembang proyek Rempang Eco City. Lahan ini mencakup Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Padahal, rencananya pembangunan kawasan industri, perdagangan dan pariwisata tersebut akan menggunakan 7.572 hektare lahan. “Dari 7.572 hektare, kenapa bisa jadi 17.000 hektare. Mencakup dua pulau lagi,” ujar Politikus PDIP itu. “Mantap sekali.”

Rieke juga menyinggung konflik agraria di Rempang yang terjadi sejak September 2023. Termasuk soal keputusan pemerintah pada 25 September 2023, bahwa Pulau Rempang batal dikosongkan tetapi warga kemudian dipindahkan ke Tanjung Banon. “Yang dipindahkan ini bukan pohon sawit tapi orang,” ujar dia.

Oleh karena itu, Rieke merekomendasikan beberapa hal ihwal upaya penyelesaian persoalan Rempang. Pertama, mendukung pemerintah mengevaluasi PSN Rempang Eco City. Terlebih, Rempang Eco City tidak masuk lagi dalam daftar 77 PSN era Presiden Prabowo Subianto yang telah diatur dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2025.

Kedua, mendukung Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut indikasi permainan hak kelola lahan 17.000 hektare kepada PT MEG. Ketiga, memohon kepada pimpinan DPR untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit BP Batam. Terakhir, Rieke mengusulkan rapat dengar pendapat umum antara Komisi VI DPR DI dengan direksi BP Batam, perwakilan warga Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas, serta PT MEG.

Menurut Rieke, pembangunan termasuk PSN sah-sah saja dilaksanakan. Namun, perlu ada kajian. Kajian itu pun, menurut dia, mestinya tidak hanya dilihat dari nilai investasi maupun potensi keuntungan yang bisa didapatkan. Namun, perlu dilihat dari sisi kerugiannya.

Koordinator AMAR-GB Ishaka alias Saka menyatakan warga Rempang tidak mau digusur, direlokasi, atau dipindahkan dari kampung halamannya. Ia berujar, relokasi tidak akan sebanding dengan kehidupan warga saat ini yang harus ditinggalkan. “Rumah relokasi hanya tukar guling dari aset yang ditinggalkan. Bukan dikasih gratis,” kata dia.

Warga Rempang yang masih bertahan menolak penggusuran, ujar Saka, juga menolak transmigrasi lokal yang digagas Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman. Terlebih, menurut dia, narasi transmigrasi itu membingungkan. Meskpun, Iftitah berulang kali menyampaikan bahwa pemerintah tidak akan memaksa masyarakat untuk relokasi maupun mengikuti transmigrasi. “Membangun (kawasan) transmigrasi pada intinya merelokasi masyarakat. Kalau masyarakat tidak dipaksa, tidak dipindah, skema program transmigrasi macam apa yang akan dilakukan?” ucap Saka.

Warga pun menilai transmigrasi lokal hanya bahasa penghalusan dari pemerintah untuk mengganti diksi penggusuran atau relokasi. “Pada intinya, meminta warga pindah dari kampung halamannya,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |