Apa Saja Hak-Hak Whistleblower di Mata Hukum?

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Badan Hukum (LBH) Bandung tengah mempertimbangkan pengajuan gugatan praperadilan atas kriminalisasi terhadap Tri Yanto (TY), eks pegawai Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jawa Barat, yang menjadi whistleblower dugaan korupsi Baznas. Yanto ditetapkan tersangka setelah dituding melakukan tindak pidana membocorkan dokumen rahasia setelah melaporkan dugaan korupsi dana zakat senilai Rp 9,8 miliar dari tahun 2021 hingga 2023 dan dana hibah APBD Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai sekitar Rp 3,5 miliar di Baznas Jawa Barat.

LBH Bandung menilai telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki Yanto sebagai seorang whistleblower, yakni orang yang mengadukan adanya dugaan penyimpangan, kecurangan, atau tindak pidana yang dilakukan oleh rekan sejawat, atasan, atau institusi tempatnya bekerja. Menurut LBH Bandung, proses pelaporan yang dilakukan Yanto masih dalam konteks membongkar praktik korupsi yang merugikan keuangan negara, mengingat Baznas sebagai salah satu lembaga bantuan sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, istilah whistleblower disebutkan untuk menggantikan istilah pelapor tindak pidana. Adapun tindak pidana yang dimaksud merupakan tindak pidana tertentu yang bersifat serius, seperti tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian orang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir dan menimbulkan ketidakstabilan di tengah masyarakat hingga meruntuhkan nilai-nilai demokrasi.

Lalu, apa saja hak-hak yang dimiliki seorang whistleblower di mata hukum?

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias mengatakan, secara garis besar, hak-hak whistleblower diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Salah satunya, seorang whistleblower berhak diberikan perlindungan secara fisik, apabila terdapat ancaman fisik, dan perlindungan dari sisi advokasi hukum.

“Bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas keterangan atau kesaksian yang dia sampaikan dengan itikad baik,” kata Susi saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan pada Jumat, 30 Mei 2025.

Apabila pelapor mendapatkan pelaporan balik dengan tuduhan pidana, maka aparat penegak hukum tetap perlu memprioritaskan penanganan laporan pertama yang diterima. Hal ini tertuang dalam ayat (2) pada pasal yang sama. “Laporan pidana yang kedua dapat ditunda dulu sampai laporan awal dari pelapor telah diputus pengadilan,” tuturnya.

Pelindungan pelapor dipertegas kembali pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalamnya termaktub bahwa masyarakat yang turut berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi memiliki beberapa hak, yakni:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada Penegak Hukum; dan

e. Hak untuk memperoleh pelindungan hukum.

Di dalam keterangannya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai keputusan polisi untuk mengkriminalisasi Yanto menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Mengutip Pasal 33 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, setiap negara diwajibkan untuk memberikan perlindungan bagi para pelapor tindak pidana korupsi.

Melihat kasus ini, ICW mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merumuskan aturan mengenai Anti Strategic Lawsuit Againts Public Participation (Anti-SLAPP) atau perlindungan hukum bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam kepentingan publik dalam kasus korupsi dengan pertimbangan banyaknya pelapor korupsi yang mendapatkan intimidasi dan ancaman. Langkah ini dirasa perlu sebagai landasan perlindungan pegiat antikorupsi di waktu mendatang.

Adapun Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Barat Komisaris Besar Hendra Rochmawan mengatakan kasus ini telah sampai di tahap penyidikan. Sebanyak 10 orang saksi telah diperiksa penyidik dengan dua di antaranya merupakan saksi ahli.

Hendra mengatakan penyidik akan terus melanjutkan proses hukum kasus ini hingga berkas-berkasnya lengkap untuk dilimpahkan ke kejaksaan. “Polisi tidak mau diintimidasi oleh siapapun apalagi desakan tidak berdasar hukum,” ujarnya saat dihubungi Kamis, 29 Mei 2025.

Oyuk Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |