TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membantah Indonesia memasuki fase deindustrialisasi. Ia mengklaim industri manufaktur di Indonesia masih menjadi prime mover atau penggerak utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, nilai tambah manufaktur atau manufacturing value added (MVA) dan share terhadap produk domestik bruto (PDB) masih tergolong tinggi. Capaian investasi, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja manufaktur, menurut dia, juga masih menunjukkan performa apik. “Itu dengan sangat mudah bisa dipatahkan bahwa Indonesia tidak dalam fase deindustrialisasi,” ujar Agus Gumiwang dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data World Bank dan United Nations Statistics, Agus Gumiwang menyebut nilai MVA Indonesia pada 2023 menembus US$ 255,96 miliar. Angka ini menempatkan Indonesia dalam 12 besar negara manufaktur dunia. Di Asean, nilai MVA Indonesia menjadi yang tertinggi melampui negara-negara lain, termasuk Thailand dan Vietnam.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas (IPNM) terhadap perekonomian nasional naik pada triwulan I 2025 sebesar 17,50 persen. Angka ini naik dibanding periode yang sama pada 2024 sebesar 17,47 persen. Juga lebih tinggi dari sumbangsih sepanjang 2024 di angka 17,16 persen.
Agus Gumiwang menambahkan, kontribusi ekonomi industri pengolahan nonmigas memiliki tren meningkat sejak triwulan II-2022 pasca-Covid 19 hingga triwulan I-2025 ini. “Berdasarkan analisis teknokratis kami terhadap data PDB IPNM per triwulan tersebut, ditemukan bahwa ada tren peningkatan pada share PDB IPNM yang signifikan secara statistik,” ujar Agus Gumiwang.
Karena itu, Agus Gumiwang menyebut patut mempertanyakan alasan para pengamat mengatakan Indonesia sedang masuk atau sudah masuk ke dalam tahap deindustrialisasi. “Itu salah, karena kita bisa lihat dari data yang ada, kinerja industri manufaktur masih menjadi sumber pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Adapun Lembaga pemeringkat dunia, Standard & Poor's Global Ratings (S&P) merilis data terkini Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia. Indeks Manufaktur Indonesia pada April 2025 turun ke level 46,7 atau zona kontraksi.
S&P mencatat kontraksi disebabkan oleh penurunan tajam volume produksi dan permintaan baru.
Sempat babak-belur dihajar produk impor hingga badai pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2024 silam, industri manufaktur diprediksi masih akan tumbuh stagnan pada tahun ini. Ekonom Bright Institute Awalil Rizky memperkirakan, kontribusi industri pengolahan relatif masih akan bertahan. “Menegaskan deindustrilisasi masih belum mampu dibalik arahnya menjadi reindustrialisasi,” ujarnya kepada Tempo, Ahad, 19 Januari 2025.