5 Aspek Utama Perbedaan Sekolah Rakyat dengan Sekolah Biasa

5 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah mempersiapkan peluncuran Sekolah Rakyat, program pendidikan gratis untuk anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, yang akan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026. Sekolah ini berada di bawah naungan Kementerian Sosial dan menjadi salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Meski memiliki fungsi serupa dengan sekolah biasa, yaitu menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, Sekolah Rakyat berbeda dalam banyak aspek penting, dari kurikulum hingga fasilitas. Berikut lima perbedaan utama antara Sekolah Rakyat dan sekolah biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. Kurikulum

Sekolah biasa di Indonesia saat ini menggunakan Kurikulum Merdeka dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), yang menekankan pembelajaran menyenangkan, berdiferensiasi, dan berbasis pemahaman. Sementara Sekolah Rakyat akan menggunakan kurikulum nasional dengan tambahan penguatan karakter, seperti pelajaran kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan hidup.

Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti menyebutkan ada dua pilihan kurikulum untuk Sekolah Rakyat. “Pertama ikuti kurikulum sekolah unggul, itu berarti ikut Mendiktisaintek. Akan tetapi, juga bisa ikuti kurikulum sekolah yang berlaku sekarang ini yang digagas Kemendikdasmen,” kata Mu’ti di Jakarta Pusat, Senin, 10 Maret 2025.

2. Guru

Guru di sekolah biasa umumnya berasal dari seleksi CPNS/PPPK dan ditugaskan oleh pemerintah daerah. Adapun Sekolah Rakyat akan merekrut hingga 60.000 guru secara nasional, termasuk relawan pendidikan yang biasa bertugas di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Rekrutmen guru ini juga melibatkan perguruan tinggi seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dalam pelatihan dan pengembangan kompetensi tenaga pendidik. Bahkan kolaborasi dengan tenaga pengajar dari luar negeri juga dimungkinkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

3. Murid

Sekolah biasa menerima siswa dari berbagai latar belakang ekonomi, melalui jalur zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan orang tua. Sebaliknya, Sekolah Rakyat secara eksklusif ditujukan bagi anak-anak dari keluarga desil 1 dan 2, yakni 20 persen rumah tangga termiskin secara nasional berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).

Sebelum diterima, calon siswa harus lolos verifikasi ekonomi, tes akademik, psikotes, dan tes kesehatan. Bahkan sebelum tahun ajaran dimulai, mereka akan mengikuti program matrikulasi selama satu bulan untuk menyetarakan kemampuan dan membekali diri dengan kesiapan akademik, sosial, dan mental.

4. Lokasi

Sekolah biasa umumnya berada di kawasan padat penduduk atau perkotaan. Sebaliknya, Sekolah Rakyat dibangun di lokasi strategis untuk menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini minim akses pendidikan, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, Kalimantan, dan daerah terpencil di Jawa.

Kementerian Sosial mencatat ada 53 lokasi Sekolah Rakyat yang siap digunakan, dan 82 lokasi lain dalam tahap asesmen oleh Kementerian PUPR. Bahkan pemerintah juga akan memanfaatkan pesantren atau madrasah terbengkalai sebagai lokasi sekolah, bekerja sama dengan Kementerian Agama.

5. Fasilitas

Sekolah biasa umumnya tidak menyediakan fasilitas asrama dan siswa harus pulang-pergi setiap hari. Sementara Sekolah Rakyat dirancang sebagai boarding school gratis. Siswa tinggal di asrama, mendapatkan makanan, fasilitas belajar, dan kebutuhan dasar lainnya tanpa biaya.

Fasilitas di Sekolah Rakyat mencakup ruang kelas, asrama, kantin, tempat ibadah, dan sarana olahraga. Konsep ini dibuat untuk menjamin keberlanjutan pendidikan siswa dari latar belakang ekonomi sulit, sekaligus membangun lingkungan belajar yang lebih fokus dan terpadu.

Sekolah Rakyat tidak hadir untuk menggusur sekolah umum, melainkan melengkapi sistem pendidikan yang ada. “Kita tidak ingin saling meniadakan dengan sekolah yang existing (sudah ada) karena dikhawatirkan kehadiran Sekolah Rakyat bisa menggeser atau mengambil jatah murid sekolah sudah ada,” ujar Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat Mohammad Nuh di kantor Kemensos, Jakarta, Selasa, 25 Maret 2025.

“Kita tidak ingin itu, tapi saling melengkapi sehingga tidak perlu ada kekhawatiran ini menggusur atau mengambil alih murid dari sekolah yang sudah ada.”

Mega Putri Mahadewi, Hendrik Yaputra, dan Sapto Yunus turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |