Zarof Ricar hanya pernah melaporkan penerimaan gratifikasi satu kali selama masa jabatannya di MA pada 2012-2022.
15 April 2025 | 05.25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Eks pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, hanya melapor penerimaan gratifikasi satu kali selama periode 2012 – 2022. Fakta persidangan itu diungkap oleh Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Pelaporan dan Pemeriksaan Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indira Malik.
Pilihan editor: Mekanisme Pemiskinan Koruptor dalam UU Perampasan Aset
Indira mengatakan Zarof pernah melaporkan gratifikasi pada 2018. Menurut dia, KPK telah mengeluarkan surat untuk menjawab laporan tersebut. “Itu laporan tahun 2018, terkait dengan penerimaan gratifikasi dalam rangka pernikahan anaknya,” kata Indira saat sidang pemeriksaan saksi kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 14 April 2025.
Jaksa penuntut umum membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Indira. Di dalamnya, Indira menjelaskan gratifikasi yang dilaporkan Zarof berupa karangan bunga senilai Rp 35,5 juta. Karangan bunga itu diberikan tamu undangan pada acara pernikahan putra Zarof, Ronny Bara Pratama, dengan Nydia Astari pada 30 Maret 2018 di Hotel Bidakara Jakarta.
Setelah itu, jaksa mempertanyakan tindak lanjut dari KPK terhadap laporan gratifikasi Zarof. Indira mengatakan penerimaan itu masih dalam batas yang diperkenankan menurut KPK, sehingga tidak ditetapkan sebagai milik negara atau dianggap sebagai suap.
Ketika ditanya lebih lanjut oleh jaksa, ia berkata tidak menemukan laporan gratifikasi dari Zarof selain pada 2018. “Selain yang disebutkan tadi untuk laporan gratifikasi di 2018, apakah saksi mendapatkan adanya laporan lain terkait gratifikasi yang diperoleh oleh atas nama Zarof Ricar?” ujar jaksa. “Kami (KPK) tidak menemukan,” kata Indira.
Jaksa kembali memperjelas periode pelaporan gratifikasi kepada KPK selama masa Zarof bertugas di MA, yaitu pada 2012-2022.
“Tadi saksi kan menerangkan terkait adanya data laporan gratifikasi periode 2012 sampai dengan 2022 untuk atas nama Terdakwa hanya ada yang satu laporan penerimaan saja gratifikasi, ya?” tanya jaksa penuntut umum. Indira mengiyakan pertanyaan tersebut.
Kemudian jaksa melanjutkan, “Selebihnya nggak ada, ya? termasuk uang tunai dalam pecahan mata uang rupiah, dolar Singapura, dolar Amerika, Euro, dolar Hong Kong, dan logam mulia emas juga tidak pernah ada laporan terkait itu, ya?”
“Belum ada," jawab Indira.
Kasus suap vonis bebas Ronald Tannur bermula ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Ronald dari dakwaan pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Majelis hakim itu terdiri dari Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Kejaksaan Agung kemudian mengusut dugaan suap hakim dan gratifikasi di balik vonis janggal itu.
Para hakim didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 3,67 miliar dari ibu Ronald, Meirizka Widjaja, melalui Lisa Rachmat. Lisa adalah pengacara Ronald.
Jaksa menduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada mereka untuk diadili. Ketiganya diduga telah mengetahui bahwa uang yang diberikan oleh Lisa adalah untuk menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap kliennya.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga menduga ada upaya pemufakatan jahat antara Lisa dengan Zarof. Mereka diduga bermufakat untuk menyuap hakim kasasi dengan nilai Rp 5 miliar. Ini ditujukan agar putusan kasasi memperkuat putusan PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald.
JPU mendakwa Zarof dengan dua dakwaan. Pertama, percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, suap yang berhubungan dengan jabatannya selama di MA.
Namun, akhirnya Ronald divonis 5 tahun penjara di tingkat kasasi. Kendati demikian, putusan kasasi tersebut tidak bulat memutus Ronald bersalah. Ketua hakim kasasi Soesilo berbeda pendapat (dissenting opinion), dan menyatakan Ronald tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
Selain itu, Zarof juga didakwa menerima uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing dengan nilai total Rp 915 miliar, serta emas logam mulia sebanyak 51 kilogram. Uang dan logam mulia itu dia terima selama menjabat di MA periode 2012–2022, dan diduga berasal dari para pihak berperkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
Zarof Ricar dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 15 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Dia juga didakwa melanggar Pasal 12 B Juncto Pasal 18 UU Tipikor.
Amelia Rahima Sari dan Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PODCAST REKOMENDASI TEMPO