Wulan Guritno Alami Skin Shaming, Warganet Ramai-ramai Beri Support

9 hours ago 4

CANTIKA.COM, Jakarta - Nama Wulan Guritno kembali ramai dibicarakan, karena komentar-komentar tajam warganet setelah potongan film Norma: Antara Mertua dan Menantu beredar di media sosial. Dalam adegan tersebut, tampak bekas luka di bagian tubuh Wulan yang kemudian menjadi bahan cibiran dan olok-olok.

Alih-alih diam, Wulan memilih menanggapinya dengan elegan. Ia mengunggah foto di Instagram dengan caption singkat namun menggugah: “Lucunya ya… kadang bekas luka bisa bikin orang lupa kalau kita juga manusia.”

Kalimat itu sederhana, tapi sarat makna. Di baliknya, ada pengalaman yang mungkin tak sedikit perempuan rasakan  ketika tubuh mereka dinilai, dikomentari, bahkan direndahkan, seolah kulit harus selalu sempurna khususnya saat di depan layar kaca. 

Postingan tersebut mendapat dukungan dari teman dan followers, antara lain Maia Estianty yang mengatakan: "Namanya juga TNI = TENTARA NETIZEN INDONESIA." Lalu ada juga Asri Welas yang menyayangi Wulan. "Sayang kamu selalu @wulanguritno." 

Skin shaming adalah suatu bentuk kritik, ejekan, atau penghinaan yang diarahkan pada kondisi, warna, tekstur, atau tampilan kulit seseorang. Akan tetapi, ketika konsep ini dibahas dalam konteks perempuan yang secara sosial sering dihadapkan pada standar kecantikan tinggi dampaknya bisa sangat dalam.

Kondisi kulit yang dianggap “tidak ideal” (misalnya jerawat kronis, eksim, psoriasis) dapat menjadi objek stigma dan rasa malu.

Warna kulit yang “terlalu gelap” atau “terlalu terang” bisa menjadi faktor diskriminasi atau perasaan tidak layak dalam ranah yang disebut juga colorism (diskriminasi berdasarkan nada/warna kulit). 

Kulit yang “ideal”, mulus, cerah, tak bernoda sering dipromosikan sebagai satu-standar kecantikan global, mendorong perempuan yang tidak “sesuai” merasa terkucilkan atau salah.

Beberapa alasan mengapa skin shaming punya implikasi khusus bagi perempuan:

1. Tekanan sosial dan standar kecantikan

Perempuan secara historis lebih banyak dinilai dari penampilan fisik dibanding laki-laki termasuk kulitnya. Ketika “kulit yang mulus/cerah” dijadikan standar, maka mereka yang punya kondisi kulit berbeda atau nada kulit tidak “diinginkan” bisa merasa minder.

Dalam risetnya, misalnya, ditemukan bahwa perempuan lebih mudah mengalami rasa malu terkait kondisi kulit mereka. 

2. Keterkaitan dengan kondisi dermatologis dan stigma

Banyak kondisi kulit (seperti Psoriasis dan Atopic Dermatitis) menyebabkan perubahan yang terlihat di kulit, yang bisa menjadi pemicu rasa malu (skin shame) yang kuat—terlepas dari seberapa “buruk” penyakitnya secara medis. 

3. Interseksi dengan warna kulit dan “kelebihan” lainnya

Warna kulit yang lebih gelap misalnya, sering jadi sasaran diskriminasi, baik dalam masyarakat maupun media. Ini bukan hanya soal kondisi kulit, tapi juga soal bagaimana masyarakat menganggap nilai estetis kulit. 

4. Dampak psikologis yang spesifik

Karena perempuan sering mengalami tekanan kecantikan dan pengamatan sosial yang lebih tajam terhadap penampilan, maka skin shaming bisa berdampak pada harga diri, kesehatan mental, keterlibatan sosial yang kemudian memunculkan efek domino ke aspek-aspek lain dalam hidup mereka.

Dampak Skin Shaming bagi Perempuan

Berikut beberapa efek dari skin shaming yang telah didokumentasikan dalam literatur riset dari luar negeri:

1. Efek terhadap harga diri dan kesejahteraan psikologis

Sebuah studi menunjukkan bahwa pengalaman mendapat ejekan atau dikucilkan karena kondisi kulit (misalnya jerawat, eksim) menjadi risk factor untuk terbentuknya self-esteem yang rendah dan partisipasi sosial yang menurun. 

Penelitian khusus pada pasien dengan kondisi kulit kronis menunjukkan bahwa “skin shame” (merasa kulit sendiri jelek atau tidak layak) ternyata memiliki korelasi sangat kuat dengan depresi, kecemasan, dan kualitas hidup yang rendah. Bahkan dalam satu studi, skin shaming menjadi prediktor kualitas hidup yang lebih kuat daripada hanya depresi atau kecemasan saja. 

Studi juga menemukan wanita (perempuan) mengalami rasa malu kulit lebih tinggi daripada laki-laki. 

2. Dampak sosial dan interaksi

Ketika seseorang merasa malu terhadap kulitnya, mereka cenderung menghindari kontak sosial, mengurangi keikutsertaan dalam aktivitas publik atau bahkan menahan diri untuk memperlihatkan diri di media sosial atau real life.

Stigma atau ejekan terhadap kondisi kulit juga bisa muncul di lingkungan pendidikan, kerja, atau sosial yang mendorong isolasi atau menarik diri.

3. Pengaruh pada karier dan kesempatan

Dalam konteks colorism, penelitian menemukan bahwa wanita dengan nada kulit lebih gelap lebih mungkin melaporkan self-esteem yang lebih rendah dan kesempatan karier yang terbatas. 

Meskipun riset ini tidak selalu spesifik untuk skin shaming (misalnya kondisi kulit), namun menunjukkan bagaimana kulit baik dari segi warna maupun kondisi bisa memengaruhi peluang dan persepsi orang terhadap diri seseorang.

4. Tantangan dalam perawatan dan kesehatan

Rasa malu terhadap kulit dapat menjadi penghambat bagi seseorang untuk mencari bantuan medis atau dermatologis misalnya karena merasa terlalu “malu” untuk konsultasi atau takut akan stigma. Bila kondisi kulit dibiarkan, maka kualitas hidup akan menurun lebih jauh karena efek fisik dan psikososialnya terus menumpuk.

Pilihan Editor:  Gaya Menawan Wulan Guritno Diperayaan Ulang Tahun ke-44 Dihujani Cinta

NATURE | OUP ACADEMIC | DERMATOL JOURNAL

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |