Peran Dokter dalam Tindakan Aborsi: Dilema Etika dan Hukum

2 hours ago 1

Image DEWA DANA RAFIF

Eduaksi | 2025-12-12 18:17:26

Peran Dokter dalam tindakan Aborsi: Dilema Etika dan Hukum

Peran dokter dalam isu aborsi di Indonesia terletak dalam situasi yang rumit, yang melibatkan etika kedokteran dan aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan peraturan yang berlaku, aborsi secara umum dilarang dan merupakan tindak pidana. Akan tetapi, terdapat pengecualian yang ketat, sehingga dokter memiliki peran penting dan tanggung jawab hukum besar. Keputusan yang diambil oleh dokter bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati.

Penentu Indikasi Kedaruratan Medis

Peran utama dan paling penting dokter adalah menentukan indikasi hukum pertama, yaitu kedaruratan medis. Dokter spesialis kandungan atau tim medis yang bertugas harus secara hati-hati mengenali bahwa kehamilan yang berlanjut mengancam nyawa ibu atau janin, dan tidak dapat diselamatkan dengan cara lain. Situasi seperti komplikasi kehamilan yang parah, yang mengancam organ vital ibu, memerlukan keputusan cepat namun terukur. Keputusan ini harus dipertimbangkan secara matang oleh tim medis multidisiplin untuk memastikan keputusan yang diambil bersifat kolektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan hukum.

Aborsi Akibat Kekerasan Seksual

Pengecualian kedua yang diakui secara hukum adalah kehamilan akibat tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual. Dalam kasus ini, peran dokter meliputi aspek medis, hukum, dan psikososial. Dokter harus memastikan bahwa kehamilan tersebut benar-benar disebabkan oleh pemerkosaan, yang dibuktikan melalui keterangan resmi dari penyidik. Tindakan ini juga memiliki batasan waktu, yaitu harus dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 6 (enam) minggu yang dihitung dari hari pertama haid terakhir.

Konseling dan Dukungan Psikososial

Dalam kedua indikasi legal tersebut, peran dokter tidak hanya sebatas tindakan medis. Dokter dan konselor yang kompeten harus memberikan konseling sebelum tindakan untuk memastikan keputusan yang diambil oleh pasien atau korban sudah dipertimbangkan secara matang dan sukarela. Selain itu, konseling setelah tindakan sangat penting, khususnya bagi korban kekerasan seksual, untuk membantu proses pemulihan trauma psikologis. Peran ini membutuhkan dokter memiliki sensitivitas tinggi dan kemampuan komunikasi yang baik.

Etika Profesi dan Kewajiban Menyelamatkan Nyawa

Dalam sumpahnya, setiap dokter berkewajiban menghormati setiap nyawa manusia. Hal ini menciptakan dilema etika yang berat dalam konteks aborsi. Dokter bisa menolak melakukan aborsi jika bertentangan dengan keyakinan etika atau agama mereka, meskipun secara hukum aborsi diperbolehkan. Namun, hak ini bukanlah absolut. Kewajiban untuk menyelamatkan nyawa pasien tetap menjadi prioritas utama yang harus didahulukan dari keyakinan pribadi.

Risiko dan Sanksi Hukum

Dokter yang melanggar ketentuan hukum dan etika terkait aborsi menghadapi konsekuensi berat, termasuk ancaman pidana yang berat. Jika seorang dokter membantu melakukan aborsi di luar indikasi yang ditentukan, Dokter dapat dijerat pasal 194 UU Kesehatan berupa denda Rp1 Miliar dan hukuman penjara hingga 10 tahun, serta sanksi tambahan berupa pencabutan izin praktik sesuai aturan terbaru dalam UU No. 17/2023 tentang Kesehatan dan KUHP baru (Pasal 427, 428, 429), selain pidana pokok dalam KUHP lama (Pasal 346, 348). Sebaliknya, dokter yang melakukan aborsi sesuai prosedur legal dan indikasi (kedaruratan medis atau pemerkosaan) memiliki perlindungan hukum, selama semua ketentuan, seperti persetujuan tertulis dan pertimbangan tim, telah dipenuhi.

Kesimpulan

Peran dokter dalam melakukan tindakan aborsi adalah illegal jika tidak memenuhi kriteria, aborsi merupakan tindakan yang sangat fatal jika dilakukan tidak memenuhi indikasi yang sudah ditentukan dan merupakan tindakan pidana, Tindakan aborsi hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis obgyn (Sp.OG) di fasilitas kesehatan resmi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |