Cyber Bullying: Ancaman Tersembunyi di Era Digital

2 hours ago 1

Image Evelyn Hudoyo

Lain-Lain | 2025-12-12 18:57:51

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan terhadap pola interaksi sosial, khususnya di kalangan remaja. Kepemilikan gawai pribadi dan akses luas terhadap media sosial membuat remaja semakin aktif berkomunikasi di ruang digital. Namun, dinamika tersebut turut melahirkan fenomena baru yang meresahkan, yakni cyberbullying. Ungkapan seperti “cuman bercanda kok” kerap digunakan untuk menormalisasi tindakan merendahkan, menyebarkan meme bernada penghinaan, atau melontarkan komentar agresif. Padahal, aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan dampak psikologis yang serius bagi korban.

Cyberbullying dipahami sebagai tindakan agresif yang dilakukan melalui media digital dalam bentuk teks, gambar, maupun video yang bertujuan menyakiti, mempermalukan, atau mengintimidasi seseorang secara berulang. Tidak seperti konflik interpersonal biasa, cyberbullying memiliki karakteristik khas: bersifat anonim, berlangsung tanpa batas waktu, dan jejaknya sulit dihapus. Oleh karena itu, dampaknya dapat terus dirasakan meskipun perangkat tidak sedang digunakan. Konten yang telah tersebar dapat direproduksi, dibagikan ulang, dan menyisakan bekas emosional yang mendalam pada korban.

https://blog.securly.com/the-10-types-of-cyberbullying/

Remaja merupakan kelompok yang paling rentan mengalami cyberbullying. Pada fase perkembangan ini, mereka berada dalam proses pencarian identitas dan memiliki sensitivitas tinggi terhadap penilaian teman sebaya. Ketika menjadi sasaran penghinaan di grup kelas, dijadikan objek gosip digital, atau dipermalukan melalui akun palsu, remaja dapat mengalami krisis kepercayaan diri. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko lebih besar mengalami stres berat, kecemasan berlebihan, dan depresi. Gejala seperti enggan membuka media sosial, kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, serta menarik diri dari lingkungan sosial sering kali muncul, tetapi kerap disalahartikan sebagai sifat “terlalu sensitif” atau “tidak kuat mental”.

Salah satu aspek yang membuat cyberbullying sangat berbahaya adalah sifatnya yang tidak kasatmata namun terus menerus menghantam. Berbeda dengan bullying fisik yang terikat tempat dan waktu, serangan digital dapat muncul kapan saja, bahkan saat korban berada di rumah yang seharusnya menjadi ruang aman. Notifikasi baru dapat menjadi pemicu kecemasan, sementara konten yang telah diunggah hampir tidak mungkin terhapus sepenuhnya. Beberapa penelitian internasional bahkan mengungkapkan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami pikiran menyakiti diri sendiri, terutama ketika tidak memperoleh dukungan dari lingkungan terdekat.

Dampak lain yang tidak kalah signifikan adalah terganggunya fungsi akademik dan perkembangan diri. Remaja yang terus-menerus menerima perlakuan merendahkan berpotensi menginternalisasi ucapan negatif tersebut, misalnya merasa dirinya tidak layak, tidak kompeten, atau tidak berharga. Akumulasi perasaan tersebut dapat membuat korban enggan tampil di kelas, takut salah, dan memilih untuk tidak hadir di sekolah. Sejumlah kasus menunjukkan adanya penurunan prestasi, meningkatnya absensi, bahkan keputusan putus sekolah akibat tekanan psikologis yang tidak tertangani. Di sisi lain, pelaku yang terbiasa melakukan perundungan digital berpotensi mengalami desensitisasi moral dan membawa pola perilaku agresif tersebut ke masa dewasa.

Meski demikian, cyberbullying bukanlah konsekuensi yang harus diterima begitu saja sebagai bagian dari penggunaan media sosial. Upaya pencegahan dan penanganan dapat dilakukan melalui peran bersama remaja, orang tua, guru, dan lingkungan sosial. Remaja perlu diberikan pemahaman mengenai pentingnya etika berkomunikasi di ruang digital, termasuk kemampuan mengenali konten merendahkan, menghentikan perilaku menyebarkan materi ofensif, serta keberanian melapor ketika menjadi korban. Dukungan teman sebaya juga menjadi faktor penting, khususnya dalam memberikan pendampingan emosional, mendengarkan pengalaman korban, dan tidak menyalahkan mereka atas kejadian yang dialami.

Peran orang tua dan pendidik tidak kalah esensial. Mereka perlu peka terhadap perubahan perilaku remaja dan menyediakan ruang diskusi yang aman dan nonjudgmental. Orang dewasa juga harus memahami prosedur pelaporan cyberbullying, terutama jika tindakan sudah mengarah pada ancaman serius. Di sisi lain, sekolah dapat memperkuat pendidikan literasi digital, baik melalui kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler, agar remaja mampu menilai informasi, memahami risiko konten digital, serta membedakan kritik konstruktif dari tindakan perundungan.

Seiring berkembangnya teknologi, sejumlah platform digital telah menyediakan fitur keamanan seperti pelaporan, pemblokiran, dan penyaringan komentar. Akan tetapi, fitur tersebut tidak akan efektif tanpa kesadaran dan kedewasaan pengguna. Masyarakat perlu membangun budaya digital yang lebih suportif, yang mendorong apresiasi, empati, serta mengurangi kecenderungan menghakimi secara impulsif. Keberanian untuk tidak diam ketika melihat tindakan cyberbullying, baik dengan menegur pelaku secara etis maupun melaporkan konten bermasalah dapat menjadi langkah kecil yang berdampak besar bagi keselamatan psikologis seseorang.

Pada akhirnya, menciptakan ruang digital yang aman merupakan tanggung jawab kolektif. Setiap pengguna internet memiliki kapasitas untuk mencegah tindakan cyberbullying melalui kebiasaan sederhana seperti berpikir sebelum mengetik, menghindari penyebaran konten merendahkan, serta menumbuhkan empati dalam interaksi digital. Mengingat dunia maya merupakan perpanjangan dari dunia nyata, maka konsekuensi dari setiap komentar maupun unggahan harus dipahami dengan penuh kesadaran. Dengan kolaborasi antara individu, keluarga, sekolah, dan platform digital, ruang internet dapat berkembang menjadi lingkungan yang tidak hanya informatif, tetapi juga aman dan mendukung perkembangan remaja secara positif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |