TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara angkat bicara ketika ditanya Tempo ihwal posisi atau keberpihakannya di tengah konflik agraria akibat proyek Rempang Eco City di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Adapun di tengah persoalan yang belum selesai, Iftitah mengusulkan transmigrasi lokal sebagai jalan keluar. Menurut dia, Kementerian Transmigrasi turun tangan untuk berfokus pada pendampingan masyarakat.
“(Dalam hal Rempang), saya nomor satu jelas masyarakat,” kata Iftitah di Kantor Tempo, Kamis, 8 Mei 2025.
Politikus Partai Demokrat itu berujar, pendampingan terhadap masyarakat Rempang perlu dilakukan karena Pulau Rempang termasuk wilayah yang diproyeksikan menjadi kawasan industri. Iftitah mengatakan masyarakat harus disiapkan untuk menyambut teknologi dan indusri yang bakal masuk.
Namun, ia tidak mendorong masyarakat bekerja untuk industri yang dibangun. Menurut dia, masyarakat tetap akan bebas mencari penghidupan sesuai karakternya. “Tapi, industri itu harus memberi manfaat untuk masyarakat,” ujar lulusan terbaik Akademi Militer tahun 1999 itu.
Pendampingan terhadap masyarakat Rempang, kata Iftitah, akan dimulai dengan memberi kepastian hak atas tanah. Hingga kini, masyarakat Rempang menuntut legalisasi kampung-kampung tua yang ada. Iftitah mengklaim telah mendorong hal ini kepada Pemkot Batam. “Saya hormat kepada kampung tua karena yang dijunjung adalah sejarah dan warisan,” kata purnawirawan TNI AD itu.
Menurut Iftitah, ada dua opsi yang bisa dilakukan, yaitu pemberian hak atas tanah ulayat dan hak komunal. Pemberian kepemilikan tanah pribadi tidak menjadi pilihan. “Karena kalau diserahkan pribadi, nanti mereka tergulung industri. Mereka menjual masing-masing, kepada industri,” ujarnya.
Akan tetapi, Iftitah mengatakan kepastian hukum bukan hanya milik masyarakat tetapi juga untuk pemerintah dan investor. Karena itu, menurut dia, win win solution sebagaimana diperintahkan Presiden Prabowo Subianto adalah kebijakan yang mengakomodasi semua pihak. “Jadi, bukan berarti maunya masyarakat saja atau maunya investor saja."
Tuntutan legalisasi kampung-kampung tua di Pulau Rempang sudah menjadi tuntutan lama. Masyarakat juga pernah menyampaikan hal ini secara langsung saat Iftitah datang ke Pulau Rempang akhir Maret lalu.
Sani Rio, seorang warga Kampung Pasir Panjang, warga Pulau Rempang tidak ingin dipindah dari lahan tempat tinggalnya karena mereka sudah hidup di Pulau Rempang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Salah satu buktinya, ia memiliki nenek berusia 105 tahun. Karena itu, alih-alih transmigrasi, warga membutuhkan pengakuan atas kepemilikan lahan tempat tinggal mereka.
“Kami ingin legalitas,” kata Rio dalam forum dialog dengan Iftitah pada Ahad, 30 Maret 2025. “Kalau ada warga masuk, silakan. Bukan kami yang harus digeser.”
Koordinator Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) Ishaka alias Saka meminta pemerintah merealisasikan legalisasi kampung tua sebelum menawarkan program. Menurut dia, program untuk masyarakat bisa didiskusikan ketika masyarakat sudah merasa tenang karena mendapat kepastian hukum.
“Kami harapkan program yang akan dicanangkan nanti itu, program apapun itu skemanya, libatkan masyarakat,” kata Saka ketika ditemui Tempo usai rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 28 April 2025.
Pilihan Editor: Masih Relevankah Transmigrasi Zaman Sekarang?