Mengapa Harus Ekonomi Restoratif Bukan Eksploitatif

3 hours ago 2

Info Event - Krisis lingkungan dan ketimpangan ekonomi menuntut cara berpikir baru yang mengedepankan cara memulihkan, bukan lagi soal bagaimana menumbuhkan. Hal ini menjadi bahasan utama di gelar wicara “Bangun Ekonomi Restoratif Bukan Eksploitatif” di acara Ruang Bicara Kreatif (Rubik), Depok, Kamis, 16 Oktober 2025.

Presiden Komisaris PT Rimba Makmur Utama (RMU) Rezal Kusumaatmadja menjelaskan bahwa niat ekonomi restoratif berbeda dari ekonomi hijau pada umumnya. “Kalau ekonomi hijau itu payung besarnya, ekonomi restoratif fokus pada memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi,” ujarnya.

Rezal, penggagas Proyek Tampelas, menekankan bahwa banyak wilayah di Indonesia sudah rusak akibat aktivitas tambang dan penebangan. Oleh karena itu, orientasi pembangunan harus bisa memulihkan ekosistem yang telah hancur. “Kita berusaha memulihkan kerusakan itu, yang kita cari adalah tabungan ekonomi, bukan keuntungan sesaat,” tambah Rezal.

Untuk menunjukkan bagaimana ekonomi restoratif berjalan di lapangan, Rezal memperlihatkan video singkat tentang inisiatif RMU di Proyek Tampelas, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Di kawasan seluas 157 ribu hektare yang mengelilingi 41 desa, RMU mengembangkan budidaya ikan gabus yang diolah menjadi albumin, protein alami untuk penyembuhan luka, dengan energi bersih dari tenaga surya. Sambil merehabilitasi lahan gambut dan memberdayakan warga sekitar, RMU tidak hanya menjaga kelestarian hutan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi bagi lebih dari 45 ribu penduduk lokal.

Meski banyak inisiatif positif, jalan menuju ekonomi yang memulihkan tidak mudah. “Dari kecil, generasi muda hanya melihat tambang, penebangan, dan pembakaran lahan. Tantangan terbesarnya adalah mengubah imajinasi mereka tentang bagaimana ekonomi bisa berjalan berdampingan dengan alam,” kata Rezal.

Director of Socio-Bioeconomy Studies CELIOS Fiorentina Refani, di gelar wicara yang sama, menyoroti ketimpangan ekonomi dan bagaimana ketergantungan pada sektor ekstraktif membuat ekonomi nasional rentan. “Sepuluh tahun terakhir, Indonesia sedang demam nikel. Pada 2023 kita sudah memasok 50 persen kebutuhan nikel dunia, dan pada 2024 meningkat jadi 68 persen. Ketergantungan seperti ini membuat ekonomi kita amat rentan,” ujarnya.

Fiorentina juga menyoroti struktur kekayaan yang timpang. “Dari 50 orang terkaya di Indonesia, lebih dari separuh terafiliasi dengan bisnis ekstraktif seperti tambang, batu bara, dan sawit,” ujarnya.

Fiorentina mengingatkan, cadangan nikel nasional diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun lagi. “Kebijakan ekonomi hari ini akan kita tanggung nantinya bagi generasi muda. Kalau sumber dayanya habis, yang tersisa hanya pengangguran dan kerusakan. Karena itu, kita wajib memahami dan bertindak sejak sekarang,” kata dia.

Iklan

Rezal percaya ekonomi restoratif bukan hanya urusan teknologi atau investasi, tapi juga kesadaran. “Kita harus menyadari bahwa kita sedang berada dalam satu krisis, krisis yang membutuhkan pemulihan. Itu langkah pertama,” ujarnya.

Langkah berikutnya adalah membangun imajinasi. Ia menekankan pentingnya kemampuan membayangkan bentuk ekonomi baru sebagai solusi yang bisa menyembuhkan alam. “Kalau kita lihat gambut yang rusak, kita harus berimajinasi mencari solusi. Kami di lapangan belajar dari masyarakat, dari pengetahuan lokal. Dari situ muncul ide soal ikan gabus dan albumin,” katanya.

Sementara itu, Fiorentina menambahkan bahwa kekuatan perubahan juga terletak di desa. Berdasarkan riset CELIOS, ada lebih dari 80.000 desa di Indonesia yang memiliki potensi restoratif. “Selama ini desa ditempatkan sebagai objek, bukan subjek. Padahal desa punya potensi ekonomi yang berdaulat,” tegasnya.

Menutup diskusi yang dipandu Senior Climate Specialist Think Policy Indonesia itu, kedua narasumber sepakat bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. “Kalau kita bisa menjaga tanah kita dengan langkah sekecil apapun, Insyaallah kita bisa selamat,” ujar Rezal Kusumaatmadja.

Sementara Fiorentina Refani menambahkan, “Bangun kesadaran di basis terkecilmu dulu, baru kita bicara isu. Dari situ kita bergerak menuju kesadaran kolektif.”

Pesan keduanya menjadi pengingat sederhana namun kuat, masa depan ekonomi Indonesia tak bisa lagi dibangun di atas eksploitasi, melainkan di atas kesadaran untuk memulihkan lingkungan, masyarakat, dan harapan bersama.(*)

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |