Mahasiswa FH UGM Gugat UU TNI yang Dinilai Merugikan Masyarakat

3 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Empat mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau FH UGM mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai isi dan substansi dari UU TNI masih problematik dan merugikan masyarakat umum.

Keempat orang penggugat di antaranya Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan. Mereka menggugat UU TNI secara materi pada Kamis, 8 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat mahasiswa FH UGM juga sebelumnya mengajukan permohonan formil UU TNI terhadap UU NRI 1945 pada Jumat, 2 Mei lalu.

Dalam permohonan uji materi terhadap UU TNI, Imam mengatakan ada tiga pasal yang dipersoalkan. Di antaranya ialah Pasal 7 ayat 2 angka 9, Pasal 7 ayat 2 angka 15, dan Pasal 47 ayat 1 UU TNI.

Pasal 7 ayat 2 angka 9 mengatur tentang tugas pokok TNI di operasi militer selain perang, dalam membantu tugas pemerintahan di daerah. Frasa "membantu tugas pemerintahan di daerah" itu salah satunya dimaknai sebagai mengatasi masalah akibat pemogokan.

Imam menilai, beleid itu memperluas kewenangan tentara untuk tugas-tugas di luar fungsi pertahanan. "Mengatasi masalah akibat pemogokan tidak dapat dikategorikan sebagai ancaman atau urusan kewenangan TNI," katanya dalam keterangan tertulis, pada Kamis, 8 Mei 2025.

Kemudian, Pasal 7 ayat 2 angka 15, yang mengandung frasa "membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber" turut dipersoalkan. Menurut Imam, aturan itu bersifat multitafsir sehingga tercipta ruang ketidakpastian.

"Kami tidak mengetahui secara pasti batasan dan sejauh mana keterlibatan TNI diperbolehkan dalam ranah siber," ucapnya.

Pasal terakhir yang dinilai problematik dan merugikan masyarakat ialah Pasal 47 ayat 1 UU TNI. Beleid itu mengatur tentang perluasan tentara dalam kementerian atau lembaga sipil.

Menurut Imam, aturan itu menimbulkan dualisme fungsi prajurit aktif sebagai alat negara dan lembaga negara di waktu bersamaan. Dia mengatakan, tidak adanya kepastian hukum yang didapat ihwal mekanisme dan pertanggungjawaban kerja prajurit aktif di jabatan sipil tersebut.

Adapun permohonan gugatan UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI telah diajukan oleh berbagai elemen. Teranyar, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wulandari Wahid atau Inayah Wahid, menggugat UU TNI ke MK pada Rabu, 7 Mei 2025.

Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad mengatakan Inayah merupakan satu dari dua pemohon gugatan UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu itu. Dua pemohon lain, yaitu mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti dan mahasiswa bernama Eva.

Ketiganya menjadi pemohon dan mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras, dan Imparsial. 

Hussein mengatakan UU TNI menghidupkan dwifungsi militer terutama di pasal 7 mengenai penambahan operasi militer selain perang. Dalam pasal itu, TNI diberi kewenangan tambahan untuk membantu menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Koalisi, kata Hussein, sebetulnya tidak masalah TNI masuk ranah sipil. Namun, pelibatan TNI dalam ruang sipil harus diatur dengan baik. “Kalau tidak dwifungsi bisa kembali bangkit,” kata dia.

DPR mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025. Pengesahan revisi UU TNI menjadi undang-undang itu dilakukan DPR di tengah gelombang penolakan masyarakat sipil. 

Koalisi Masyarakat Sipil menilai pembahasan revisi UU TNI tidak melibatkan publik secara bermakna. Termasuk tidak dilibatkan dalam memberikan masukan. Bahkan, pembahasan dinilai dilakukan secara tertutup. 

Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti pemerintah yang tidak mempublikasikan dokumen final UU TNI secara transparan. Sampai saat ini, koalisi mengaku tidak mendapatkan dokumen resmi yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto.

Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |