REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim kian menekan industri cokelat global. Produksi kakao di Afrika Barat, yang menyumbang sekitar 60 persen pasokan dunia, anjlok hingga 40 persen dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini memicu lonjakan harga cokelat ke level tertinggi sejak 1970-an serta memunculkan peringatan dunia tanpa kakao pada 2050.
Sebagian besar kakao dunia diproduksi di negara-negara beriklim lembap seperti Pantai Gading dan Ghana, yang bergantung pada suhu hangat dan curah hujan tinggi dengan musim kering singkat. Namun, pola cuaca ekstrem yang semakin kontras, seperti hujan sangat lebat yang diselingi periode kekeringan, merusak kebun kakao dan mengganggu produksi.
Laporan sebelumnya menyoroti sejumlah faktor, mulai dari penambangan emas ilegal, pohon kakao yang menua, hingga penyelundupan. Namun, riset terbaru menunjukkan pemicu utama penurunan produksi adalah ekstremnya curah hujan yang diperparah oleh perubahan iklim.
Salata Institute for Climate and Sustainability, Harvard University, menyebut sensitivitas kakao terhadap cuaca bukan hal baru. Yang berubah adalah intensitasnya. Kenaikan suhu global membuat atmosfer mampu menahan sekitar tujuh persen lebih banyak uap air untuk setiap kenaikan satu derajat Celsius, sehingga hujan menjadi lebih deras dan ekstrem.
“Fisika dasarnya sederhana: atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak uap air, memperkuat intensitas hujan ekstrem,” tulis para peneliti, seperti dikutip dari Euronews, Rabu (24/12/2025). Dampaknya meliputi genangan air, erosi tanah, serta kondisi yang memicu penyakit jamur pada tanaman kakao.
Tekanan iklim ini mendorong ilmuwan mencari jalan keluar. Peneliti dari National University of Singapore (NUS) mengkaji carob, tanaman tangguh asal Mediterania, sebagai alternatif kakao yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Berbeda dengan kakao, carob tumbuh baik di iklim panas dan kering dengan kebutuhan air yang sangat rendah serta mampu bertahan dalam kondisi kekeringan. Setelah dipanggang, carob menghasilkan aroma yang menyerupai kakao, meski rasa alaminya belum sepenuhnya menggantikan cokelat.
Untuk mengatasi kendala tersebut, tim peneliti mengembangkan dua teknik berbasis enzim guna mengubah profil rasa carob dengan meningkatkan kepahitan sekaligus memperkuat rasa manis. Metode enzimatik ini dinilai lebih sederhana dan bersih karena memerlukan pemrosesan minimal, berbeda dengan pendekatan lain yang menggunakan bahan kimia keras seperti asam klorida.
Dengan peningkatan profil rasa tersebut, peneliti meyakini carob berpotensi digunakan dalam berbagai produk yang biasanya berbasis kakao, mulai dari batang cokelat, bubuk kakao, minuman malt, hingga produk olahan cokelat lainnya.
Jika diterapkan secara luas, pendekatan ini disebut dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan industri cokelat terhadap kakao, sekaligus memperkuat ketahanan rantai pasok dari dampak perubahan iklim dan wabah penyakit tanaman.
“Riset kami bukan sekadar meniru rasa kakao, tetapi mendiversifikasi bahan baku untuk alternatif cokelat. Dengan beralih ke tanaman tangguh dan tahan iklim seperti carob, industri dapat beradaptasi menghadapi tantangan lingkungan sambil tetap menghadirkan produk yang disukai konsumen,” kata Manfred Ku, penulis utama riset tersebut.
Temuan ini menegaskan transisi menuju bahan baku yang lebih resilien menjadi kunci adaptasi sektor pangan terhadap krisis iklim, termasuk bagi industri cokelat yang selama ini sangat bergantung pada kakao dari wilayah rentan cuaca ekstrem.
Para peneliti NUS juga memperkirakan biaya produksi carob yang lebih rendah akan menjadikannya alternatif menarik. Hal ini karena daging buah carob merupakan produk sampingan dari pembuatan locust bean gum, bahan pengental dan penstabil alami yang berasal dari biji tanaman carob (Ceratonia siliqua). Bahan ini banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, dan kosmetik.
Dengan demikian, pemanfaatan carob sebagai pengganti cokelat dapat menambah nilai pada rantai pasok yang sudah ada, mengurangi limbah pertanian, serta berpotensi menekan harga bagi produsen dan konsumen.
Tim NUS berencana melanjutkan penelitian terhadap teknik lain untuk semakin meningkatkan cita rasa carob selama proses pemanggangan. Mereka juga akan mengeksplorasi metode baru untuk menghadirkan nuansa rasa yang inovatif dan menyenangkan pada alternatif cokelat berbasis carob guna memenuhi beragam preferensi konsumen global.
Ke depan, para peneliti NUS juga berencana bekerja sama dengan mitra industri untuk mengomersialkan teknik-teknik tersebut melalui skema lisensi, pembentukan usaha bersama, atau bentuk kemitraan lainnya.

2 hours ago
2













































