TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menyatakan lembaganya mengemban fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak. Pernyataan itu merespons usulan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi agar KPAI mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan permasalahan anak yang dianggap nakal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya sudah sampaikan berulang kali, tugas kami melakukan pengawasan. Jangankan untuk anak ratusan orang, yang dilakukan berbagai cara, berbagai metode, berbagai program gitu. Satu orang anak pun kan direspons oleh KPAI,” ucap Ai ketika ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 21 Mei 2025.
KPAI sebelumnya mengkritik program pengiriman anak yang dianggap nakal ke barak militer yang digagas Dedi Mulyadi. Kemudian, Dedi menanggapi kritik itu dengan menyatakan bahwa KPAI seharusnya ikut turun tangan dalam pendidikan karakter anak.
Pembentukan KPAI didasarkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Sementara peraturan pelaksananya tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Menyitir UU Perlindungan Anak, tugas KPAI meliputi melakukan pengawasan; memberikan masukan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak; serta menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan mengenai pelanggaran hak anak. Selain itu, KPAI juga bertugas melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak; melakukan kerja sama dengan lembaga di bidang perlindungan anak; dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak.
“Jadi mari kita lihat lagi aturan perundangannya, KPAI mengawasi,” ujar Ai.
Sebelumnya, Dedi Mulyadi mengatakan bahwa sebaiknya KPAI tidak hanya mengoreksi program yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi turut mengambil langkah. Dedi menyampaikan pernyataan tersebut menanggapi temuan KPAI soal praktik intimidatif dalam pelaksanaan program pendidikan karakter berbasis barak militer besutan mantan Bupati Purwakarta itu.
Berdasarkan temuan KPAI, siswa yang mengikuti program tersebut tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog profesional, tetapi hanya rekomendasi guru bimbingan konseling (BK), serta mencatat 6,7 persen siswa menyatakan tidak mengetahui alasan mengikuti program itu.
“Yang harus dilakukan KPAI adalah mengambil langkah untuk menyelesaikan berbagai problem yang dialami oleh anak-anak remaja kita. Apakah itu karena problem di rumahnya, atau sekolahnya, yang akhirnya mengarah kepada tindak kriminal,” ujar Dedi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, 19 Mei 2025, dilansir Antara.
Lebih jauh, ia mengusulkan KPAI untuk membuat program yang menyasar ribuan siswa bermasalah di Jawa Barat untuk dididik agar masalah terselesaikan. “Kalau KPAI sibuk terus mengurus persoalan tempat tidur dan sejenisnya, maka tidak akan bisa menyelesaikan problem,” kata Dedi.
Selain itu, dia mengatakan bahwa KPAI dapat melihat dampak terhadap siswa bermasalah yang mengikuti program Pemerintah Provinsi Jabar tersebut. “KPAI bisa lihat dong kemarin 39 anak sudah selesai, bagaimana keadaan anak itu, disiplinnya, kemudian rasa empatinya, bahkan dia menangis di depan ibunya mencium kakinya. Kan belum tentu itu didapatkan pendidikan di sekolah,” ujar politisi Partai Gerindra itu.