TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kasus eksplotasi terhadap para pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) diselesaikan melalui jalur hukum, termasuk kompensasi yang ditutut para korban. Pernyataan ini disampaikan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing dalam keterangan tertulis pada Kamis, 17 April 2025.
Sebelumnya, Komnas HAM mengatakan pernah menerima pengaduan pada Desember 2024 dari kantor hukum Ari Seran Law Office. Kantor hukum itu menyampaikan permasalahan kasus OCI belum selesai, karena belum ada upaya memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp 3,1 milyar yang ditujukan kepada OCI.
Komisi juga mendesak agar OCI memperjelas asal-usul, identitas, serta hubungan kekeluargaan para eks pemain OCI, yang telah bekerja sebagai pemain sirkus di sana sejak kecil.
Dalam kasus ini, Uli mengatakan, Komnas HAM menegaskan pelatihan keras terutama kepada anak-anak tidak boleh menjurus pada penyiksaan. “Bilamana hal ini dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak,” ujarnya.
Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan anak-anak eks pemain sirkus telah mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Bukan hanya itu, hak mereka untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan-undangan juga telah dilanggar.
Pada 22 Juni 1999, menurut informasi yang diperoleh Komnas HAM, kepolisian menghentikan penyidikan kasus ini. “Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan atas nama FM dan VS,” demikian tertulis dalam keterangan Komnas HAM.
Kasus tersebut awalnya tertuang dalam Laporan Polisi nomor LP/60/V/1997/Satgas tertangal 6 Juni 1997. Pemberhentian penyidikan dilakukan berdasarkan Surat Ketetapan Nomor Pol.G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um tanggal 22 Juni 1999.
Sebelumnya, Komnas HAM telah mengeluarkan pernyataan tentang kasus OCI. Pada 1997, Komisi menyatakan OCI telah melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap anak-anak pemain sirkus.
Pelanggaran yang disebutkan adalah terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan; hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis; hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak; serta hak anak untuk mendapatkan pelindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak.
Isu ini kembali mencuat ketika delapan perwakilan dari para korban menyambangi kantor Kementerian HAM di Jakarta Selatan pada Selasa, 15 April 2025. Sebagian besar adalah perempuan paruh baya. Mereka berdialog dengan Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, beserta dua direktur jenderal kementerian tersebut.
Para korban mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan, hingga dipaksa makan kotoran hewan.
Dalam kronologi tertulis dari pendamping korban, dikatakan bahwa para pemilik dan/atau pengelola OCI serta Taman Safari Indonesia mengambil dan memisahkan lebih dari 60 anak-anak berusia 2 – 4 tahun dari orang tua mereka. Kemudian di usia 4-6 tahun, mereka diduga dipekerjakan tanpa upah, tidak disekolahkan, dan tidak diberi tahu identitas aslinya.
Tony Sumampau, komisaris Taman Safari Indonesia yang mewakili keluarga pendiri OCI, telah membantah keluarganya melakukan kekerasan sebagaimana disebutkan oleh para korban. Ia berkata, kala itu para anak pemain sirkus hanya mendapat pendisiplinan dalam bentuk pukulan. Salah satunya menggunakan rotan.
“Pemukulan biasa itu ada aja,” ujarnya kepada sejumlah awak media di bilangan Melawai, Jakarta Selatan, Kamis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini