REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan kebutuhan bensin nasional saat ini mencapai 40 hingga 42 juta ton per tahun. Dari total kebutuhan tersebut, kapasitas produksi dalam negeri baru sekitar 14 sampai 15 juta ton per tahun.
Kondisi ini membuat Indonesia masih harus mengimpor sekitar 25 hingga 27 juta ton bensin per tahun untuk memenuhi kebutuhan domestik. Menurut Bahlil, situasi tersebut menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan menekan ketergantungan terhadap impor.
“Dengan melihat kapasitas kilang kita dan potensi cadangan yang ada, rasanya perlu strategi lain agar bisa menyeimbangkan kebutuhan dan mengurangi impor,” ujarnya dalam penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian ESDM dan BPS di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Bahlil menjelaskan, salah satu strategi yang kini tengah disiapkan pemerintah ialah penerapan program bahan bakar campuran berbasis bioetanol atau E10. Program ini mengadopsi keberhasilan kebijakan biodiesel yang sudah lebih dulu berjalan dan terbukti mampu menekan impor solar.
Menurutnya, kebijakan biodiesel yang dimulai pada 2015 dari B10 kini telah berkembang menjadi B40 dan menuju B50. Proses itu terbukti meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani serta menekan impor solar hingga jutaan kiloliter.
“Kita belajar dari biodiesel. Dulu mulai dari 10 persen, sekarang sudah ke B50. Harga petani naik, CPO naik, impor solar turun. Nah, hal yang sama ingin kita terapkan pada etanol,” jelas Bahlil.
Ia mengatakan, penerapan campuran 10 persen etanol dalam bensin (E10) akan memberikan dampak signifikan bagi kemandirian energi nasional. Ia menyebutkan, bahan baku etanol dapat bersumber dari tanaman singkong, tebu, maupun sorgum yang tersebar di berbagai daerah. Karena itu, program ini juga diharapkan mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor pertanian sekaligus memperkuat ekonomi daerah.
“Di negara lain seperti Brasil, campurannya bahkan sampai 27 persen, di India 20 persen, dan Amerika Serikat 10 persen,” tutur Bahlil.
Menteri ESDM menambahkan, langkah konversi menuju E10 bagian dari strategi menuju kedaulatan energi nasional. Selain menghemat devisa, kebijakan ini juga akan mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil sekaligus memperluas manfaat ekonomi hingga ke daerah-daerah penghasil bahan baku bioenergi.
Bahlil menegaskan, keberhasilan program tersebut memerlukan dukungan data yang akurat dan terukur. Karena itu, Kementerian ESDM menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memastikan seluruh data kebutuhan energi dan dampak ekonominya dihitung secara objektif.
“Kalau tim saya yang hitung bisa saja data dipoles. Tapi kalau BPS yang menghitung, pasti saya percaya. Lembaga yang ditunjuk negara untuk menghitung itu cuma BPS,” kata tokoh yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini.
Kementerian ESDM menargetkan program E10 mulai berjalan secara bertahap setelah pengujian teknis rampung. Upaya ini akan melengkapi transisi menuju B50 pada 2026, dengan harapan Indonesia mampu menekan impor energi sekaligus memperkuat fondasi kedaulatan energi nasional.