Haji Agus Salim: Negarawan Moderat Panitia Sembilan

2 hours ago 2

Image Marcellino Janwarin

Pendidikan dan Literasi | 2025-09-17 09:47:33

Gambar 1. Haji Agus Salim (1884–1954), anggota Panitia Sembilan. Sumber: Wikimedia Commons (Public Domain)

Pendahuluan

Sejarah Indonesia tidak lepas dari peran para tokoh yang dengan pengorbanan dan gagasan mereka meletakkan dasar berdirinya negara. Di antara nama-nama besar itu, Haji Agus Salim menempati posisi penting. Ia dikenal sebagai ulama, wartawan, diplomat, sekaligus negarawan yang bersahaja. Perannya dalam Panitia Sembilan, yang merumuskan Piagam Jakarta sebagai cikal bakal Pancasila, menunjukkan sikap moderat dan keberaniannya menjembatani perbedaan antara kelompok Islam dan nasionalis. Artikel ini akan membahas perjalanan hidup Agus Salim, kiprahnya dalam Panitia Sembilan, pemikirannya, serta warisan nilai yang ia tinggalkan bagi bangsa Indonesia.

Biografi Singkat

Haji Agus Salim lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat, pada 8 Oktober 1884. Nama kecilnya adalah Mashudul Haq. Namun sejak menunaikan ibadah haji, ia lebih dikenal sebagai Haji Agus Salim. Latar belakang keluarganya cukup terpandang; ayahnya, Sutan Mohammad Salim, adalah seorang jaksa kepala di Riau. Kondisi ini memberinya kesempatan menempuh pendidikan di sekolah-sekolah elit kolonial, mulai dari ELS (Europeesche Lagere School) hingga HBS (Hogere Burger School) di Batavia.

Sejak muda, Agus Salim menunjukkan kecerdasannya. Ia menguasai banyak bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Jerman, Arab, hingga Jepang. Kemampuan ini bukan hanya membantunya dalam karier, tetapi juga membuka wawasan luas tentang dunia luar. Julukan The Grand Old Man of Indonesia disematkan kepadanya karena keluasan ilmu, kedewasaan sikap, dan konsistensinya dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Karier Awal dan Aktivisme Politik

Setelah lulus dari HBS, Agus Salim sempat bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah. Pengalaman tinggal di tanah Arab memberinya kesempatan memperdalam agama sekaligus mengenal pemikiran Islam modern, seperti gagasan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dari sana, tumbuh tekad dalam dirinya untuk membangkitkan umat Islam Indonesia agar tidak terbelakang.

Sekembalinya ke tanah air, ia terjun ke dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah, lalu aktif dalam pers. Kariernya sebagai wartawan membawanya ke berbagai surat kabar, salah satunya Neraca yang dipimpin Abdul Muis. Tulisan Agus Salim dikenal tajam dan kritis, seringkali menyindir kebijakan kolonial sekaligus mengangkat kesadaran rakyat.

Pada 1915, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Di organisasi ini, Agus Salim berperan penting meredam pengaruh ideologi kiri yang masuk ke tubuh SI. Ia menekankan perjuangan lewat jalur konstitusional, pendidikan, dan ekonomi rakyat. Ketika SI pecah karena pengaruh komunisme, Agus Salim tetap konsisten memelihara garis Islam yang moderat dan rasional.

Peran di Volksraad

Agus Salim juga aktif di Volksraad, semacam dewan rakyat bentukan Belanda. Meski lembaga ini tidak memiliki kekuasaan nyata, Agus Salim memanfaatkannya sebagai mimbar perjuangan. Di sana, ia menyuarakan kepentingan rakyat, menuntut keadilan, dan mengkritik pemerintah kolonial. Dari forum itu pula lahir istilah khasnya, “kaum sini” dan “kaum sana,” untuk menegaskan jurang pemisah antara rakyat pribumi dan penjajah.

Panitia Sembilan dan Piagam Jakarta

Tahun 1945 menjadi momentum penting. Dalam sidang BPUPKI, Agus Salim ditunjuk menjadi anggota Panitia Perancang UUD. Lebih khusus lagi, ia termasuk dalam Panitia Sembilan, panitia kecil yang dibentuk pada 1 Juni 1945 untuk merumuskan dasar negara. Anggotanya terdiri dari sembilan tokoh: Soekarno, Moh. Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Subardjo, A.A. Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakir, KH. Wachid Hasyim, dan Agus Salim.

Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menghasilkan rumusan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Naskah ini menjadi kompromi antara kelompok Islam dan nasionalis. Di dalamnya, sila pertama berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rumusan ini menimbulkan perdebatan, terutama dari pihak non-Muslim yang merasa khawatir.

Agus Salim tampil sebagai tokoh moderat. Ia menyadari bahwa dasar negara harus bisa diterima semua golongan. Menurut catatan Yanuar Arifin, Agus Salim menekankan bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk, sehingga rumusan dasar negara tidak boleh menimbulkan rasa keterasingan bagi satu kelompok pun. Kompromi akhirnya tercapai pada 18 Agustus 1945: sila pertama diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sikap ini sejalan dengan pandangan Agus Salim bahwa persatuan bangsa lebih penting daripada kemenangan sepihak .

Pandangan Politik dan Keagamaan

Pemikiran Agus Salim dapat dirangkum dalam beberapa poin penting:

  1. Moderasi dalam beragama dan bernegara. Ia menolak gagasan teokrasi Islam, tetapi juga menentang sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik.
  2. Persatuan di atas golongan. Baginya, perbedaan pandangan adalah keniscayaan, namun kompromi adalah kunci menjaga bangsa tetap utuh.
  3. Pendidikan dan ilmu pengetahuan. Agus Salim percaya bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa diraih jika bangsa cerdas dan berpengetahuan.
  4. Diplomasi sebagai jalan perjuangan. Baik di dalam negeri maupun luar negeri, ia lebih memilih jalur dialog daripada kekerasan.

Kiprah Setelah Kemerdekaan

Setelah proklamasi, Agus Salim dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri dalam beberapa kabinet. Dalam posisi ini, ia menunjukkan kepiawaian diplomasi. Ia terlibat dalam berbagai konferensi internasional, termasuk Konferensi Meja Bundar, untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia.

Selain diplomasi, Agus Salim juga aktif mengajar dan berdakwah. Ia tetap menulis, memberikan ceramah, dan mendidik generasi muda. Dalam kehidupan pribadi, ia memilih hidup sederhana meski pernah menduduki jabatan penting. Kesahajaannya menjadi teladan bahwa jabatan adalah sarana pengabdian, bukan jalan mencari kemewahan.

Warisan Nilai

Haji Agus Salim meninggalkan warisan yang kaya. Dari dirinya, generasi muda Indonesia dapat belajar:

  • Arti penting toleransi dan kompromi. Tanpa sikap ini, mungkin Indonesia tidak memiliki dasar negara yang diterima semua pihak.
  • Bahwa ilmu adalah kekuatan. Kecerdasannya berakar dari kegemarannya membaca dan belajar tanpa henti.
  • Keteladanan kesederhanaan. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak diukur dari harta, tetapi dari pengabdian.
  • Nasionalisme religius yang inklusif. Ia membuktikan bahwa Islam dan kebangsaan bisa berjalan beriringan tanpa saling meniadakan.

Penutup

Haji Agus Salim adalah sosok ulama sekaligus negarawan yang memainkan peran sentral dalam sejarah Indonesia. Melalui Panitia Sembilan, ia ikut merumuskan dasar negara dengan sikap moderat dan jiwa besar. Pandangan dan keteladanan hidupnya tetap relevan hingga hari ini, ketika bangsa Indonesia masih berhadapan dengan tantangan kebhinekaan dan persatuan. Ia menunjukkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan untuk terus menjaga harmoni dalam keberagaman.

Referensi 

  • Mukayat. (1985). Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Depdikbud.
  • Yanuar Arifin. (2020). Agus Salim: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia. Diva Press.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |