loading...
Prof. Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag., M.H, (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Oleh:
Prof. Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag., M.H, (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Yudhiarma MK, M.Si (mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Setiap 28 November 2025 diperingati sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI). Sejarah mencatat, pada awal November 2024, filantropi Islam di Tanah Air membuat sebuah terobosan signifikan dengan diluncurkannya Green Zakat Framework oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) RI bersama Bank Syariah Indonesia (BSI). Inisiatif strategis ini tidak sekadar memperluas, melainkan mentransformasi paradigma zakat konvensional. Secara fundamental, kerangka kerja ini dirancang untuk menggeser pemahaman publik mengenai zakat dari yang semata-mata dipandang sebagai instrumen filantropi untuk pengentasan kemiskinan, menjadi suatu kekuatan strategis yang mampu mendorong agenda pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan. Perlu digarisbawahi bahwa pendekatan ini sejalan dengan etika ekoteologi dalam Islam, yang menekankan tanggung jawab manusia (khalifah) untuk memelihara keseimbangan alam.
Lebih dari sekadar wacana, kerangka ini dioperasionalkan melalui serangkaian program yang komprehensif. Patut menjadi perhatian adalah komitmen dalam membangun kesadaran lingkungan secara luas, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang bagaimana instrumen keagamaan seperti zakat dapat berkontribusi langsung terhadap kesehatan ekosistem. Tak kalah penting, para mustahik sebagai penerima manfaat tidak hanya mendapat bantuan konsumtif, melainkan juga akan mendapatkan akses ke program pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Melalui skema ini, dana zakat diarahkan untuk mendukung aktivitas-aktivitas produktif yang selaras dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau, seperti adopsi energi terbarukan, rehabilitasi lahan kritis, dan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab.
Di Indonesia, gerakan berbasis komunitas seperti Gerakan Sedekah Pohon (GSP) menunjukkan potensi besar. Namun, potensi ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam kerangka kebijakan ekonomi hijau nasional. Kerangka kebijakan yang ada cenderung melihat ekonomi hijau dari perspektif teknokratis dan kapitalistik, sehingga kurang menyentuh akar motivasi masyarakat akar rumput. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang mampu menjembatani kesenjangan ini dengan merumuskan model ekonomi hijau yang tidak hanya berkelanjutan secara ekologis dan ekonomi, tetapi juga bermakna secara spiritual dan kultural bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Pendekatan ekoteologi filantropi Islam menawarkan lensa yang relevan untuk memahami dan memperkuat gerakan semacam GSP, dengan memadukan etika lingkungan dalam teologi Islam dan kekuatan filantropi sebagai pilar ekonominya.
Penelitian terdahulu telah banyak mengkaji ekonomi hijau (Smith et al., 2020), filantropi Islam (Abdullah, 2019), dan ekoteologi (Al-Jayyousi, 2021) secara terpisah. Kajian sistematis oleh Farooq et al. (2022) misalnya, memetakan publikasi tentang keuangan Islam berkelanjutan, namun belum menyentuh konteks gerakan sosial lingkungan berbasis komunitas. Studi lain mengeksplorasi wakaf untuk lingkungan (Hasan, 2021), tetapi analisisnya terbatas pada aspek legal dan belum membangun grand theory yang menghubungkannya dengan pilar ekonomi hijau. Identifikasi gap ini menunjukkan bahwa belum ada sintesis yang komprehensif antara ketiga domain tersebut, khususnya dalam konteks gerakan sosial di Indonesia. Penelitian ini hadir untuk mengisi celah tersebut dengan mengintegrasikan konsep ekoteologi filantropi Islam untuk menganalisis dan memformulasikan GSP sebagai sebuah pilar ekonomi hijau yang utuh.
Kebaruan penelitian ini terletak pada penyatuan tiga bidang ilmu yang biasanya terfragmentasi ekonomi hijau, ekoteologi Islam, dan filantropi Islam ke dalam satu kerangka analisis yang kohesif. Kontekstualisasi gerakan lokal dengan menempatkan Gerakan Sedekah Pohon bukan hanya sebagai studi kasus, tetapi sebagai model empiris untuk merekonstruksi konsep ekonomi hijau yang lebih inklusif dan berbasis nilai. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan teori ekonomi hijau dengan memasukkan dimensi spiritual-motivasional yang berasal dari ekoteologi, serta mekanisme pendanaan alternatif melalui filantropi Islam, yang selama ini diabaikan dalam wacana arus utama. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sebuah kanal inovatif yang merevitalisasi peran zakat dalam konteks kontemporer. Inisiatif ini dengan tegas menyatakan bahwa kontribusi zakat tidak berhenti pada peningkatan kesejahteraan sosial (falah), tetapi juga dapat dan harus dioptimalkan untuk mewujudkan kesejahteraan ekologis yang berkesinambungan, merefleksikan integrasi yang utuh antara dimensi ibadah, sosial, dan lingkungan.
Filantropi dan Konservasi Lingkungan
Rekonstruksi posisi filantropi Islam terutama zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) dalam arus wacana ekonomi hijau yang selama ini didominasi oleh pendekatan sekuler dan teknokratis. Temuan kami menunjukkan bahwa dengan merujuk pada prinsip maqashid al-shari'ah (tujuan syariah), khususnya hifzh al-bi'ah (pelestarian lingkungan), instrumen ZIS dapat mengalami pergeseran paradigma dari sekadar mekanisme bantuan sosial (social safety net) menjadi modal sosial-ekologis yang strategis (Abdullah, 2019; Al-Jayyousi, 2021). Integrasi ini bukanlah sekadar penambahan variabel, melainkan sebuah reorientasi filosofis yang menempatkan keberlanjutan ekologis sebagai bagian integral dari keadilan sosial dan ekonomi dalam Islam.
Lebih lanjut, penelitian ini mengungkap bahwa pendekatan ekoteologi berperan penting dalam memberikan legitimasi teologis dan pendorong motivasi intrinsik. Ayat-ayat Al-Qur'an seperti QS. Al-Baqarah: 60 yang menekankan keseimbangan (mizan) dan larangan berbuat kerusakan (ifsad) di muka bumi (QS. Al-A’raf: 56) memberikan landasan normatif yang kuat. Berbeda dengan insentif ekonomi yang bersifat ekstrinsik, kerangka ekoteologi ini membangun kesadaran bahwa aktivitas konservasi adalah manifestasi dari ibadah dan tanggung jawab kekhalifahan (istikhlaf), sehingga memastikan keberlanjutan program melampaui siklus pendanaan proyek (Gade, 2021).
Pada tataran operasional, analisis memetakan tiga model integrasi utama. Pertama, model langsung, di mana dana ZIS dialokasikan untuk kegiatan restorasi ekosistem konkret, seperti gerakan sedekah pohon untuk merehabilitasi lahan kritis. Kedua, model pemberdayaan ekonomi hijau, di mana dana ZIS digunakan sebagai modal usaha bagi mustahik (penerima manfaat) dalam sektor-sektor berkelanjutan seperti pertanian organik atau energi terbarukan. Ketiga, model kapasitas dan advokasi, yang memfokuskan dana pada pendidikan lingkungan dan peningkatan kesadaran masyarakat berbasis nilai-nilai keagamaan. Implementasi dari model pertama dapat diamati dalam Gerakan Sedekah Pohon (GSP) di Indonesia. Data lapangan menunjukkan bahwa GSP tidak hanya berhasil meningkatkan tutupan hijau di area tertentu, tetapi juga membangun narasi bahwa menanam pohon adalah bagian dari sedekah jariyah (amal yang mengalir pahalanya). Hal ini membedakannya secara signifikan dari program penghijauan pemerintah, karena GSP memanfaatkan modal sosial dan spiritual komunitas Muslim, yang menghasilkan tingkat partisipasi dan rasa kepemilikan (sense of ownership) yang lebih tinggi (Ibrahim & Hossain, 2022).













































