Emisi CO2 Cina Turun untuk Pertama Kalinya Meski Permintaan Listrik Naik

7 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Untuk pertama kalinya, emisi karbon dioksida (CO2) Cina mengalami penurunan meskipun permintaan energi di negara tersebut meningkat. Penurunan ini disebut-sebut sebagai tanda awal bahwa transisi energi bersih di Cina mulai menunjukkan dampak nyata.

Analisis dari Lauri Myllivirta, peneliti di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) di Finlandia, menunjukkan bahwa emisi CO2 Cina menurun sekitar 1 persen dalam 12 bulan terakhir. Pada kuartal pertama 2025, penurunan tercatat sebesar 1,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini bukan kali pertama emisi Cina menurun. Namun, berbeda dari penurunan pada 2022 yang terjadi akibat perlambatan ekonomi selama lockdown Covid-19, kali ini penurunan berlangsung di tengah meningkatnya konsumsi listrik nasional.

“Tentu saja itu berarti penurunan emisi saat ini punya peluang yang jauh lebih besar untuk bertahan,” kata Myllivirta, dikutip dari laporan New Scientist, Rabu, 21 Mei 2025.

Penurunan ini didorong oleh peningkatan besar-besaran kapasitas energi surya, angin, dan nuklir di Cina, yang secara bertahap mulai menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Selain itu, pergeseran ekonomi dari sektor-sektor intensif karbon, seperti baja dan semen, serta melonjaknya penggunaan kendaraan listrik, juga turut menekan permintaan bahan bakar fosil.

Jika tren ini berlanjut, Cina berpotensi mengalami penurunan emisi yang konsisten dan melewati puncak emisinya lebih awal dari target 2030. Hal ini disebut sebagai pencapaian penting dalam upaya penanggulangan krisis iklim.

“Jika dan ketika para pemimpin Cina menyimpulkan bahwa mereka benar-benar sudah mengendalikan masalah ini, dan mereka mulai menurunkan emisi, itu akan memungkinkan Cina menjadi pemain yang jauh lebih kuat dan jauh lebih positif dalam kebijakan iklim internasional, serta mendorong negara lain untuk bergerak ke arah yang sama,” tuturnya.

Meski begitu, menurut David Fishman dari Lantau Group, konsultan energi yang berbasis di Hong Kong, beberapa faktor bisa kembali mendorong kenaikan emisi. Dalam jangka pendek, musim panas yang panas dapat meningkatkan konsumsi listrik untuk pendingin udara. Kekeringan juga bisa mengurangi output pembangkit listrik tenaga air, sehingga memaksa pembangkit batu bara dan gas untuk menggantikan pasokan yang hilang.

Selain itu, tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump dinilai membuat proyeksi emisi Cina menjadi tidak stabil.

Dalam jangka panjang, untuk memenuhi kebutuhan energi, Cina harus membangun kapasitas pembangkit energi bersih baru dalam skala ratusan gigawatt per tahun. Keberhasilan upaya ini akan sangat bergantung pada target-target dalam rencana lima tahun berikutnya yang akan diumumkan pada 2026, serta komitmen Cina dalam Perjanjian Paris menjelang Konferensi Iklim COP30 tahun ini.

“Nasib iklim global memang tidak ditentukan oleh apa yang terjadi di Cina musim panas ini, tapi sangat bergantung pada apa yang terjadi terhadap emisi Cina dalam beberapa tahun dan dekade mendatang,” ujar Myllivirta.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |