Anggotanya Gugat UU TNI ke MK, Mabes TNI Bilang Begini

7 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan instansinya tak memiliki kaitan dengan gugatan uji materi UU TNI yang diajukan guru besar Universitas Pertahanan ke Mahkamah Konstitusi.

Dia menyebut, TNI tak dalam posisi mendukung maupun melarang gugatan yang dilayangkan Kolonel Mhd. Halkis terhadap pasal-pasal yang dianggap mengekang hak prajurit di dalam UU TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tindakan beliau menurut kami sah-sah saja," kata Kristomei kepada Tempo di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, pada Kamis, 24 April 2025.

Sah yang dimaksud, Kristomei menjelaskan, adalah dalam konteks posisi Halkis yang merupakan akademisi dari Universitas Pertahanan. Menurut dia, TNI tak memiliki kewenangan apa pun untuk meminta Halkis membatalkan gugatannya. Sebab, dalam gugatannya, Halkis berbicara sebagai seorang dosen, bukan prajurit TNI.

"Kalau beliau bicara sebagai seorang prajurit, tentu harus ikuti perintah Panglima TNI," kata mantan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat itu.

Adapun, dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Halkis mengajukan gugatan uji materi UU TNI ke Mahkamah dengan alasan ketentuan yang ada mengekang hak prajurit sebagai warga negara.

Menunjuk Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar sebagai kuasa hukum, Halkis mendaftarkan gugatan dengan nomor registrasi 41/PAN.ONLINE/2025. Pasal yang ia gugat adalah Pasal 2 huruf d; Pasal 39 ayat (3); dan Pasal 47 ayat (2).

Pasal 2 huruf d yang mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, kata Halkis, tidak tepat secara logika.

Alasannya, pendekatan yang digunakan dalam definisi itu menggunakan pendekatan negatif, tidak menjelaskan tentara profesional secara positif. Sehingga, kata Halkis, terjadi kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer.

"Tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas secara netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi, serta jabatan publik," kata dia.

Soal Pasal 39 ayat (3) yang melarang prajurit untuk berbisnis, dia mengatakan, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Halkis mencontohkan, di Amerika Serikat dan Jerman, prajurit justru diperbolehkan untuk memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas. Tetapi, aturan ini justru tidak berlaku di Indonesia.

Juga soal Pasal 47 ayat (2) yang mengatur batasan prajurit aktif menduduki jabatan sipil, ia menilai ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menjamin hak warga negara atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dia mengklaim, jika Mahkamah mengabulkan permohonan ini, maka akan terjadi perubahan besar dalam konsep profesionalisme militer ke arah yang lebih jelas, dengan berbasis prinsip konstitusi serta keadilan.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |