TEMPO.CO, Surabaya - Pagi hari di perkampungan nelayan Pantai Timur Surabaya, dua bocah perempuan mengeluarkan isi perut terung laut. Ibu-ibu nelayan Kelurahan Sukolilo, Surabaya mengolah ubur-ubur laut itu menjadi kerupuk setelah dibersihkan. Nailatul Rohmah, satu dari dua bocah itu terbiasa membantu ibunya di kawasan pesisir. “Tiap hari bersihkan terung. Giginya bisa buat mainan dakon,” kata Naila ditemui pada Ahad, 9 Januari 2025.
Bocah delapan tahun itu terlihat senang membersihkan ubur-ubur laut. Seperti Naila, Salsabila Putri Nur Isnaini dan Salsabila Putri Nur Isnaina juga gembira membersihkan teripang hasil tangkapan ayahnya. Anak kembar ini membantu orang tuanya sepulang sekolah dan sebelum pergi mengaji sejak kelas satu sekolah dasar. Selepas membantu orang tua, mereka bermain di tepi pantai berpasir putih.
Permukiman padat penduduk dengan gang-gang sempit itu ramai. Nelayan terlihat lalu-lalang membawa ember, baskom, dan panci berisikan hasil tangkapan laut. Remaja mendorong gerobak dengan ember berisikan terung laut. Remaja laki-laki, Rasya Ardiansyah mengatakan, dia dan temannya, Maulana, membantu orang tua mengolah hasil tangkapan laut setiap pagi pada akhir pekan dan sore seusai bersekolah.
Selain dijual, hasil tangkapan laut itu sebagian mereka konsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Sejak bersekolah di SD, anak-anak itu membantu orang tua yang mengandalkan hasil tangkapan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup. Anak-anak warga Sukolilo Lor ini juga belajar dan mengenal jenis-jenis biota laut, bagian dari ekosistem.
Perkampungan nelayan Pantai Timur Surabaya merupakan kampung yang akan terdampak pembangunan proyek Surabaya Waterfront Land atau SWL, bagian dari Proyek Strategis Nasional atau PSN. Proyek itu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia No 6 Tahun 2024. Pengembangnya adalah PT Granting Jaya.
Sejak pertama kali diluncurkan, rencana reklamasi di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) telah mendapat penolakan dari warga yang tersebar di 12 kelurahan. Koordinator Forum Masyarakat Madani Maritim Heroe Budiarto mengatakan bahwa ada sekitar 800 nelayan di Pamurbaya yang hampir semuanya telah berkeluarga. Karenanya, mereka khawatir akan sulit menghidupi keluarganya lagi, terlebih jumlah anak-anak di sana mencapai 1.500 orang.
Tak jauh dari permukiman nelayan terdapat Gedung SD Muhammadiyah 9 Surabaya. Sekolah itu itu terlihat sepi. Dua anak bermain bola di halaman sekolah itu. Sekolah itu selalu terbuka untuk aktivitas bermain anak-anak, meski libur akhir pekan. Saat masuk ke dalam area sekolah, seorang laki-laki paruh baya menyambut. Dia adalah Hamuka, tokoh masyarakat di Sukolilo. ”Biasanya anak-anak kumpul di teras sekolah. Karena ini pekan pertama puasa, sebagian masih tidur,’ kata Hamuka.
Hamuka mengajak Tempo melihat-lihat sekitar Pamurbaya dari teralis sekolah. Dia menunjuk beberapa titik di laut lepas itu. Menurut dia pembangunan proyek SWL akan menggusur lahan berjarak satu kilometer dari bangunan sekolah. “Mulai dari ujung Kenjeran sampai Pamurbaya akan dibangun empat blok pulau seluas 1.184 hektare,” ucap Hamuka.
Hamuka bercerita mengenai perjuangan warga untuk menolak rencana reklamasi pantai itu. Dia mendengar pemerintah daerah menolak. Warga kini menunggu sikap pemerintah pusat agar membatalkan rencana reklamasi. Sebagian besar nelayan khawatir reklamasi menggusur nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil menjaring ikan. Nelayan juga mengandalkan hasil tangkapan ikan untuk sumber protein dan gizi anak-anak.
Nelayan perempuan yang aktif menolak proyek SWL, Mulyati, mengatakan nelayan tak akan bisa melaut dan kehilangan penghasilan bila proyek tersebut berjalan. “Kami harus siap-siap kehilangan ikan, makanan anak-anak setiap hari,” kata dia.
Nelayan lainnya, Sunir, menyatakan proyek itu akan berdampak bagi lingkungan yang berujung pada hilangnya mata pencaharian keluarga. Sunir mengungkapkan, Pamurbaya sekarang berbeda dibanding sepuluh hingga dua puluh tahun lalu. Sebab, banyak bangunan yang berdiri, yakni Jembatan Suroboyo dan perumahan elite.
Masifnya pembangunan perumahan itu menurut dia berdampak pada anak-anak. ”Sekarang saja, air laut semakin dangkal dan berganti lumpur. Dahulu anak-anak bisa main di pinggir-pinggir laut, sekarang sudah enggak bisa,” ucap Sunir.
Sunir juga mengungkapkan bahwa dahulu nelayan terbiasa melaut pada malam hari dan pulang pada pagi hari. Saat ini, air laut kerap surut sewaktu-waktu. Nelayan pun harus berhenti di tengah laut sambil menunggu air pasang. Kondisi itu mengakibatkan hasil tangkapan ikan tak lagi segar. Bahkan, sebagian di antaranya membusuk karena terlalu lama terkontaminasi udara. Dia khawatir reklamasi menghambat nelayan untuk melaut.
Selain itu, nelayan yang kehilangan mata pencahariannya otomatis tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Mulai dari kebutuhan pokok hingga pendidikan anak-anak. Dia juga memprediksi anak-anak akan kekurangan gizi karena pembangunan proyek itu. Sebab, orang tuanya yang tidak melaut lagi akan gagal memberikan gizi yang layak bagi anak-anaknya.
“Sekarang kan kami melaut bawa ikan, udang, cumi-cumi, dan sebagainya. Kalau nanti enggak melaut lagi, ya harus beli. Tapi uang dari mana? Lha wong pekerjaannya hilang,” ucap Sunir.
Sunir pun tidak percaya dengan penjelasan pengembang yang menjanjikan kehidupan layak bagi nelayan. Mereka menjanjikan kapal berukuran besar untuk tiap nelayan. “Enggak percaya. Hanya orang-orang kaya yang menikmati hasilnya, kami rakyat kecil hanya menonton,” tutur perempuan 48 tahun itu.
Sunir mengatakan proyek itu akan merampas hak hidup banyak keluarga di sekitar Pamurbaya sehingga pemerintah seharusnya membatalkan proyek itu. Tak hanya anak-anak dan perempuan, kelompok pemuda di sekitar Pamurbaya juga resah terhadap rencana pembangunan proyek tersebut. Salah satunya Ummu Sajidah, pemuda yang juga relawan pendidikan di Kelurahan Sukolilo.
Menurut dia, warga sekitar memiliki trauma masa lalu dengan pembangunan-pembangunan sebelumnya. Misalnya saat pembangunan perumahan elite, laut mulai tersedimentasi. Endapan lumpur semakin tebal selama 15 tahun terakhir. ”Dahulu di tengah laut juga pernah ada pasir yang cukup luas, biasanya anak-anak juga main di situ. Tapi sekarang sudah enggak terlihat lagi karena ketutupan lumpur,” ucap mahasiswi Universitas Negeri Surabaya itu.
Selain itu, pembangunan Jembatan Suroboyo juga berdampak signifikan. Saat pembangunan berjalan, banyak rumah-rumah warga retak karena efek pemasangan paku bumi atau tiang pancang. Pembangunan itu juga mengganggu proses belajar di sekolah. “Suara truk-truk proyek kencang sekali dan mengganggu,” ujar perempuan yang akrab disapa Jida itu.
Warga aktif menolak rencana PSN SWL, mulai dari tokoh masyarakat dan nelayan. Dewan Perwakilan Rakyat Surabaya juga menolak usulan PSN SWL. Mereka menilai proyek itu akan berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan dan merampas hak ekonomi warga. “Jadi memang harus dibatalkan saja,” kata Ketua Komisi C DPRD Surabaya Eri Irawan.
Pemerintah Kota Surabaya telah berkirim surat ke Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meninjau kembali PSN itu. Namun, pemerintah pusat belum membalasnya. Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappedalitbang) Surabaya, AA GDE Dwi Djaja Wardana mengatakan surat pertama berasal dari Wali Kota Surabaya dan surat kedua dikirim sekretaris daerah.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, Muhammad Isa Anshori menanggapi rencana PSN SWL ini. Menurut dia, Peraturan Daerah mengenai Rencana Tata Ruang/ Tata Wilayah (RTRW) Jatim memang tidak membolehkan adanya reklamasi. Namun, perda dinilai harus menyesuaikan keputusan pemerintah pusat. ”Perda Provinsi nanti yang menyesuaikan PSN itu. Ini sedang kami proses,” kata Isa.
Dia menjelaskan bahwa PSN itu masih berjalan. Pemprov menyesuaikan peraturan daerah dengan peraturan pemerintah pusat.
Hal senada juga diungkapkan Pelaksana Tugas Direktur Pemanfaatan Ruang Kolom Perairan dan Dasar Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Didit Eko Prasetiyo yang mengklaim pemerintah daerah sangat mendukung PSN SWL. Dia menilai bahwa proyek tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, menata kawasan pesisir, bahkan menjadi tempat konservasi mangrove. “Pengembang akan mengalokasikan area khusus untuk nelayan,” kata Didit, Kamis 3 April 2025.
Pengembang PSN SWL PT Granting Jaya masih terus melanjutkan proyek ini. Juru bicara PT Granting Jaya, Agung Pramono, menjelaskan bahwa proses proyek itu kini dalam tahap konsultasi publik analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal. “Itu kegiatan awal. Masih ada kegiatan-kegiatan lainnya,” ucap Agung.
Pemerhati anak dari organisasi non-pemerintah Wahana Visi Indonesia, Charles Frans, mengamini kekhawatiran warga Pamurbaya. Menurut dia pengalaman pembangunan reklamasi di pesisir tidak hanya menimbulkan dampak berupa perubahan fisik lokasi. Namun, dampaknya juga menyentuh kehidupan anak-anak di pesisir pada sisi ekonomi, psikis, pendidikan, dan identitas budaya.
Terlebih, sebagian masyarakat pesisir merupakan keluarga pra sejahtera. “Kalau tidak dilakukan pendekatan partisipatif dan berkeadilan, anak-anak dari keluarga pra sejahtera akan menjadi korban yang paling menderita karena rencana program ini,” ucap Charles.
Dia mencontohkan proyek di pesisir Indonesia yang menimbulkan dampak bagi anak-anak sekitar. Misalnya reklamasi Muara Angke (2015-2018), reklamasi Kalibaru Cilincing (2012), reklamasi Pantai Losari Makassar (2014), dan reklamasi Pantai Melasti Bali (2022). Charles menyebutkan dampak reklamasi di pesisir bukan hanya membuat nelayan dan petambak kehilangan pekerjaan. Ada efek berantai terhadap keluarga, termasuk bagi istri dan anak-anak yang menggantungkan hidupnya dari laut.
Menurut dia reklamasi sering menutup akses nelayan ke laut. Nelayan dan petambak yang biasa melaut di sekitar pantai yang menggantungkan dari tambaknya kemungkinan tidak bisa lagi masuk ke wilayah itu. Mereka harus melaut lebih jauh dan butuh biaya lebih besar untuk kebutuhan bensin, waktu, atau perahu lebih besar.
Selain itu, Charles melanjutkan, ekosistem laut di sekitar area reklamasi juga akan rusak. Mulai dari terumbu karang hingga mangrove. Kondisi itu menyebabkan ikan dan biota laut yang jadi sumber penghidupan makin sedikit. Akhirnya, nelayan dipaksa beralih profesi yang penghasilannya lebih kecil dan tidak stabil seperti buruh bangunan, ojek, dan lain-lain. ”Mereka akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan baru dan lebih parah,” ucapnya.
Bila masyarakat terjebak dalam rantai kemiskinan, maka kualitas pendidikan anak-anak menurun. Sebab, pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit yakni kebutuhan ongkos membeli buku, seragam, dan transportasi. ”Anak akan terancam putus sekolah jika ekonomi keluarga semakin sulit,” kata Charles.
Charles juga menjelaskan soal gizi bagi anak-anak dari keluarga nelayan yang terdampak PSN ini. Menurut dia, keluarga nelayan dan petambak biasanya mengandalkan hasil laut sebagai sumber protein utama. Setelah kehilangan akses ke laut, mereka harus membeli makanan yang kadang tidak mampu dibeli karena penghasilan menurun drastis.
Akibatnya, pemenuhan kebutuhan makanan untuk keluarga menjadi terbatas. Mereka akan mengandalkan karbohidrat murah seperti nasi dan mie instan. Namun, kebutuhan protein tidak terpenuhi. ”Maka dampak panjangnya adalah stunting karena anak-anak kekurangan gizi. Ini dampaknya ke perkembangan otak dan produktivitas di masa depan,” ucap Charles.
Tak hanya itu, Charles juga menyoroti kesehatan mental anak yang mungkin terganggu dengan adanya PSN SWL ini. Menurut dia, anak mungkin akan menyaksikan orang tuanya stress, bingung, bahkan bertengkar karena penghasilan yang berkurang. Ada rasa cemas akan masa depan, tidak aman, atau marah karena orang tuanya kehilangan atau mengalami penurunan pendapatan.
Selain itu, anak-anak dari keluarga yang terdesak seringkali lebih rentan jadi korban kekerasan, eksploitasi, atau perdagangan anak. Padahal, anak nelayan tumbuh dengan cerita dan kehidupan laut. “Ketika laut dan tambak ‘dirampas’, mereka kehilangan identitas budaya, anak-anak juga kehilangan tempat bermain alami mereka di laut dan tambak,” tutur Charles.
Pemerhati lingkungan sekaligus Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas juga turut memberi perhatian kepada anak-anak di kawasan pesisir Surabaya. Dia menyatakan bahwa anak-anak berisiko mengalami dislokasi sosial akibat PSN SWL. Mereka bisa kehilangan rumah, lingkungan bermain, dan jejaring sosial sebagai ruang tumbuh.
Busyro menilai bahwa hal itu bisa terjadi karena PSN ini tidak menggunakan pendekatan yang sensitif terhadap hak-hak warga, khususnya anak-anak. Menurut Busyro, anak-anak nantinya tidak hanya akan kehilangan ruang-ruang fisik. Mereka juga berpotensi kehilangan rasa aman, identitas, dan masa depan.“Ini persoalan mendasar tentang keadilan antar generasi,” kata Busyro kepada Tempo.
Dalam diskusi yang diadakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Surabaya pada Kamis, 10 April 2025, Busyro juga menyinggung bahwa PSN SWL berpotensi menyebabkan relokasi atau penggusuran. Menurut Busyro, relokasi yang dipaksakan juga akan memutus akses anak-anak terhadap infrastruktur pendidikan yang selama ini sudah menopang aktivitas mereka.
Jika melihat PSN atau proyek besar lainnya di Indonesia, maka sebagian keluarga yang terdampak proyek itu tak mampu lagi menyekolahkan anak-anaknya. Sebab, mereka harus memprioritaskan kebutuhan dasar lain setelah kehilangan mata pencaharian.
“Apalagi potensi polusi akibat reklamasi dan pembangunan besar-besaran. Ini adalah ancaman langsung terhadap kesehatan fisik dan mental anak-anak yang seharusnya menjadi prioritas perlindungan negara,” ucap anggota Dewan Pers terpilih itu.
Busyro menyebutkan anak-anak sekitar pesisir juga akan mengalami dampak yang lebih menyakitkan. Seperti hilangnya ruang bermain yang dahulu mereka miliki, mulai dari laut, tambak, dan lapangan alami yang selama ini menjadi tempat eksplorasi dan sosialisasi. Semua itu digantikan oleh properti eksklusif dan bangunan yang tidak memberi tempat bagi anak-anak dari kalangan yang rentan ini.
Proyek itu, kata dia, cermin ketimpangan yang muncul secara sistematis. Anak-anak akan menjadi korban. “Pertanyaannya, apakah pemerintah dan DPR tidak memperhitungkan risiko kemarahan rakyat secara masif? Apakah mereka lupa bahwa rakyat—terutama kelas bawah—yang langsung menderita akibat pemiskinan ekologis, politik, hukum, dan HAM ini bisa menjadi kekuatan penolak paling nyata?,” kata Busyro.
Menurut Busyro, pemerintah dan DPR seharusnya sadar bahwa kebijakan nasional ala PSN hanya berwatak strategis bagi segelintir elit. Bahkan, bisa disebut bencana bagi publik secara luas. “Dalam praktiknya, lebih mirip dusta politik yang terang-terangan,” ucap eks Pimpinan KPK itu.
Ahli klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin juga menaruh perhatian terhadap rencana PSN SWL, khususnya pada sisi dampak perubahan iklim terhadap anak-anak. Dia menjelaskan studi tim peneliti BRIN yang menemukan bahwa Jawa Timur merupakan area paling rentan terhadap perubahan iklim dibandingkan wilayah Jawa lainnya. Hal itu dilihat dari peningkatan tiga unsur iklim, yakni suhu ekstrem, hujan, dan angin ekstrem.“Khususnya untuk wilayah di Pantura yang membentang dari Rembang hingga Surabaya,” kata Erma.
Erma menjelaskan data tiga dekade terakhir juga menunjukkan Kota Surabaya mengalami peningkatan signifikan pada suhu maksimum. Surabaya semakin terpapar panas ekstrem yang dapat mengganggu kesehatan bagi kelompok yang rentan seperti lansia, orang dengan komorbid, dan anak-anak.
Menurut Erma, wilayah Surabaya juga rentan mengalami hujan ekstrem yang dapat memicu banjir dan memperparah rob di kawasan pesisir. Jika lanskap kawasan pesisir diubah karena PSN, maka banjir rob akan semakin parah karena mangrove di sekitarnya dibabat. “Padahal mangrove sangat efektif meredam energi gelombang hingga 95 persen. Studi juga membuktikan budidaya mangrove merupakan cara efektif dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Erma.
Selain itu, mikro iklim bisa berubah jika lanskap pesisir juga diubah karena PSN.Bukti-bukti secara empiris telah menunjukkan temperatur atau suhu lokal di kota tersebut akan terus naik. Ihwal dampaknya, Erma mengatakan bahwa anak-anak semakin rentan dengan panas ekstrem. Sebab, panas bisa menyebabkan anak-anak dehidrasi sekaligus menurunkan fungsi kekebalan tubuh. ”Rentan menyebabkan kematian,” kata Erma.
Dia menyarankan agar pemerintah bisa membuat mitigasi perubahan iklim. Caranya dengan melindungi kawasan pantai melalui nature-based solution seperti budidaya mangrove, bukan pembangunan proyek yang mengancam pengembangan mangrove.
Pilihan Editor: DPRD Sepakat Tolak PSN Surabaya Waterfront Land