5 Alasan AKSI Menolak Penulisan Ulang Sejarah Nasional

8 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia atau AKSI menolak dengan tegas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digarap pemerintah. Mereka menilai proyek tersebut sebagai bentuk rekayasa narasi masa lalu oleh negara.

Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR pada Senin, 19 Mei 2025, AKSI menyuarakan kritik terhadap proyek sejarah resmi yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan. Ketua AKSI Marzuki Darusman membacakan manifesto penolakan yang menekankan bahaya tafsir tunggal terhadap sejarah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami dari AKSI dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia,” ujar Marzuki saat membacakan manifesto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Aliansi ini terdiri dari beragam individu dengan latar belakang sejarawan, pegiat hukum, aktivis hak asasi manusia, hingga tokoh gerakan perempuan. Mereka menyebut rencana pemerintah sebagai “proyek masif rekayasa masa lalu” yang menempatkan negara sebagai pemegang kebenaran tunggal sejarah nasional.

5 Alasan Penolakan 

Berikut lima alasan utama AKSI menolak proyek penulisan ulang sejarah Indonesia:

1. Rekayasa Narasi Masa Lalu

Pemerintah dinilai berusaha membentuk satu versi sejarah monumental demi kepentingan kekuasaan. Penulisan ulang sejarah ini dianggap sebagai cara halus untuk membentuk opini publik dan mengendalikan ingatan kolektif bangsa.

2. Alat Legitimasi Kekuasaan Politik

Aliansi menilai proyek sejarah ini berpotensi menjadi perangkat kekuasaan untuk menentukan batas pemikiran dan kebebasan berekspresi warga negara. Sejarah dijadikan dalih normatif untuk membenarkan tatanan politik tertentu.

3. Ancaman Totalitarianisme Historis

Manifesto AKSI menyebut proyek ini membuka jalan bagi praktik otoritarian hingga totalitarian, dengan sejarah sebagai instrumen legitimasi yang tidak dapat dibantah.

“Totaliterianisme bukanlah akumulasi otoriterisme; sebaliknya otoriterianisme bukanlah totaliterianisme moderat yang bisa ditangkal dan dicegah  melalui pengingkaran, dan serangkaian narasi verbal oleh pemerintah,” ujar sejarawan Imam Aziz dari Nahdlatul Ulama.

4. Pengkhianatan terhadap Kerakyatan

Wakil Ketua AKSI Sulistyowati Irianto menyebut proyek ini sebagai pengkhianatan terhadap prinsip kerakyatan yang telah menyelamatkan Indonesia dari kolonialisme hingga otoritarianisme.  

“Tindakan ini merupakan suatu tindak pengkhianatan terhadap paham dasar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia, dan menghancurkan memori kolektif tentang kapasitas alamiah dan kekuatan bangsa, untuk mengatasi tantangan eksistensialnya,” ucapnya.

Menurut dia, pemerintah bukan satu-satunya penafsir sejarah. Rakyat punya hak menyuarakan pengalaman sejarahnya.

5. Ancaman Penggelapan Sejarah

Menurut AKSI, penulisan sejarah tunggal adalah bentuk penggelapan sejarah yang dapat membawa petaka. Mereka menolak setiap bentuk intervensi kekuasaan, sekecil apapun, terhadap proses pencatatan sejarah.

Penyesuaian dengan Temuan Baru

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah ini bertujuan menyelaraskan pengetahuan sejarah dengan berbagai temuan akademik terbaru. Ia menjelaskan bahwa proses penyusunan buku sejarah Indonesia ini berlangsung dan dikerjakan oleh para sejarawan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 

“Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan,” ujar Fadli dalam pernyataannya di kompleks Istana Kepresidenan, 5 Mei 2025. Ia menyebut proyek ini sebagai bentuk penyegaran dari dua referensi utama sejarah nasional: Sejarah Nasional Indonesia (1980-an) dan Indonesia dalam Arus Sejarah (2012).

Sejarawan yang ditunjuk pemerintah antara lain Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin. Bersama lebih dari 100 akademisi, mereka diberi mandat menyusun ulang narasi sejarah Indonesia dari masa prasejarah hingga era Reformasi.

Proyek ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan HUT Kemerdekaan ke-80 RI. Buku sejarah versi baru itu disebut akan menjadi acuan resmi pendidikan sejarah dari tingkat dasar hingga menengah. “Buku ini akan menjadi semacam buku sejarah resmi Indonesia, dan bakal menjadi acuan utama dalam pendidikan sejarah di semua jenjang,” ujarnya.  

Ervana Trikarinaputri dan Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 
Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |