Pengusaha Ungkap Alasan Malas Tarik Kredit Bank: Tunda Ekspansi dan Andalkan Kas Internal

2 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai langkah pemerintah menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebagai kebijakan strategis untuk memperkuat likuiditas perbankan. Dengan likuiditas yang lebih longgar, menurut Shinta, akses pembiayaan bagi dunia usaha akan semakin terbuka.

“Hal ini tentu dapat menjadi dorongan bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspansi, meningkatkan investasi, serta memperkuat aktivitas produksi dan perdagangan,” ujar Shinta saat dihubungi Republika, di Jakarta, Senin (15/9/2025).

Namun, ia menegaskan, ketersediaan likuiditas saja tidak otomatis mendorong ekspansi dunia usaha. Respons pengusaha, kata Shinta, sangat bergantung pada kondisi permintaan pasar, kepastian kebijakan, dan biaya usaha secara keseluruhan.

“Dalam beberapa bulan terakhir, jika kita lihat datanya memang angka pertumbuhan kredit agak sedikit melambat,” katanya.

Ia memaparkan, pertumbuhan kredit pada April masih berada di level 8,88 persen, turun menjadi 8,43 persen di Mei, 7,77 persen di Juni, dan terakhir hanya 7,03 persen pada Juli 2025 atau laju terendah sejak Maret 2022. Khusus kredit modal kerja, tren pelemahannya bahkan lebih tajam, dari 7,66 persen di Februari turun ke 4,62 persen di April, 4,45 persen di Juni, hingga menyentuh 3,08 persen pada Juli 2025.

“Apakah ini berarti dunia usaha benar-benar menginjak rem? Tidak sepenuhnya. Yang terjadi adalah strategic recalibration, bukan stagnasi,” kata Shinta.

Menurutnya, terdapat beberapa faktor utama dari penurunan tren kredit tersebut. Pertama, banyak perusahaan memilih selective growth. Dengan ketidakpastian global dan fluktuasi permintaan domestik, ekspansi besar ditunda dan diganti dengan capex optimization. Hanya proyek dengan high certainty of return yang dijalankan, sehingga menurunkan kebutuhan kredit modal kerja.

Kedua, perusahaan lebih mengandalkan kas internal. “Sejak pandemi, kas internal diperkuat sebagai buffer liquidity. Dengan cost of fund yang masih tinggi, menggunakan dana sendiri lebih masuk akal. Jadi, ekspansi tetap ada, tetapi berbasis internal resource mobilization,” ujarnya.

Ketiga, perbankan lebih risk averse. Dengan fokus menjaga kualitas kredit dan NPL, bank menjadi lebih selektif menyalurkan pembiayaan, terutama untuk sektor berisiko. “Ini semakin menekan pertumbuhan kredit modal kerja,” katanya.

Apindo melihat tren ini sebagai tanda cautious optimism. Dunia usaha, kata Shinta, memilih konsolidasi, efisiensi, dan pertumbuhan berkualitas, bukan ekspansi agresif. Strategi ini memastikan ketahanan bisnis sambil menunggu momentum ekonomi yang lebih kuat.

Apindo berharap pemerintah konsisten menjaga iklim usaha, menurunkan biaya struktural, serta memperkuat konsumsi. “Selain memperbesar likuiditas, Apindo juga menilai penting adanya kebijakan sektoral yang dapat memperkuat permintaan dan daya beli masyarakat,” ujar Shinta.

Menurutnya, belanja pemerintah dengan efek berganda tinggi terhadap konsumsi dan penciptaan lapangan kerja perlu dipercepat. Di saat yang sama, koordinasi kebijakan fiskal, moneter, sektor riil, dan perbankan harus tetap dijaga.

“Dunia usaha berharap momentum tambahan likuiditas dibarengi dengan paket kebijakan yang mendorong permintaan, memberikan insentif sektor produktif, serta memperkuat kepastian berusaha, sehingga kebijakan ini bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tutur Shinta.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |