Pasar Kehidupan : Dari Gerobak Bakso hingga Proposal Konsultan

3 hours ago 3

Ilustrasi. Dok Republika

Oleh : Muliadi Saleh

Al-Qur’an menyapa manusia dengan bahasa pasar. Allah menyebut “tijarah”—perdagangan—bukan sekadar jual beli barang, melainkan simbol pertukaran nilai, gagasan, jasa, bahkan doa. Kehidupan ini ibarat sebuah pasar raksasa: ada penjual, ada pembeli, ada barang dagangan, ada alat tukar, dan ada media perantara. Tidak heran, di banyak ayat Allah mengingatkan agar manusia tidak tertipu oleh “tijarah yang tidak menguntungkan” dan sebaliknya mencari “perdagangan dengan Allah” yang abadi (QS. Fatir: 29-30).

Mari kita bayangkan seorang penjual bakso keliling. Ia mendorong gerobak, menyiapkan adonan daging, tepung, dan bumbu hingga menjadi bulatan bakso yang kenyal dan nikmat. Bakso itu adalah hasil olahan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Gerobak yang ia dorong keliling kampung adalah medianya: sebuah wadah untuk mempertemukan bakso dengan pembeli yang lapar. Di situlah terjadi transaksi, pertukaran nilai: uang dengan makanan, rasa lapar dengan rasa kenyang, kepenatan dengan kepuasan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lalu, bandingkan dengan seorang konsultan. Ia tidak menjajakan bakso, melainkan kata-kata yang diramu menjadi kalimat, pengalaman yang diaduk dengan kecerdasan hingga menjadi sebuah proposal. Proposal itu adalah baksonya—produk olahan jiwa dan pikirannya. Sedangkan laptop adalah gerobaknya. Ia membawanya ke mana-mana, membuka layar, mempresentasikan gagasan. Ia menawarkan jasa sebagaimana pedagang menawarkan dagangan. Di akhir pertemuan, terjadi pula transaksi: jasa dengan honorarium, ide dengan penghargaan, kecerdasan dengan nilai tukar.

Seorang guru dan dosen pun demikian. Mereka bukan menjual barang fisik, tetapi ilmu. Kata-kata mereka adalah adonan bakso. Papan tulis, buku, atau layar presentasi adalah gerobak. Setiap hari mereka mendorong gerobaknya ke ruang kelas, ke ruang kuliah, menyajikan ilmu sebagai santapan rohani murid dan mahasiswa. Transaksi terjadi: ilmu ditukar dengan penghormatan, pengetahuan ditukar dengan waktu dan tenaga, pendidikan ditukar dengan doa dan amal jariyah yang terus mengalir.

Lihat pula seorang pemain musik. Ia meramu nada sebagaimana pedagang meramu bumbu. Alat musik adalah gerobaknya, syair lagu adalah baksonya. Dari perpaduan bunyi lahirlah harmoni, dari perpaduan kata lahirlah puisi yang bernyanyi. Musik itu kemudian diperdagangkan: di panggung, di rekaman, di ruang-ruang pertunjukan. Transaksinya bisa berupa tiket, honor, atau bahkan sekadar tepuk tangan. Namun di balik itu, ada pertukaran yang lebih halus: jiwa yang penat ditukar dengan kelegaan, hati yang gundah ditukar dengan hiburan.

Dengan demikian, setiap profesi sejatinya menempuh jalan yang sama: jalan perdagangan. Penjual bakso dengan gerobaknya, konsultan dengan laptopnya, guru dengan papan tulisnya, musisi dengan gitarnya—semua sedang bertransaksi. Yang berbeda hanyalah bentuk barang dagangan: ada yang berupa makanan, ada yang berupa gagasan, ada yang berupa ilmu, ada yang berupa seni.

Al-Qur’an menegaskan: “Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (QS. At-Taubah: 111). Inilah transaksi tertinggi: hidup kita sendiri adalah barang dagangan, amal kita adalah produknya, dan surga adalah keuntungan yang dijanjikan.

Maka, pasar kehidupan ini bukan sekadar tentang uang dan barang, tetapi juga tentang nilai. Apakah bakso yang kita jual halal dan thayyib? Apakah proposal yang kita tulis bermanfaat dan jujur? Apakah ilmu yang kita ajarkan mendekatkan pada kebenaran? Apakah musik yang kita ciptakan mengingatkan manusia pada keindahan Sang Pencipta atau justru melalaikan?

Setiap profesi adalah pedagang, setiap ruang adalah pasar. Kita semua mendorong “gerobak” masing-masing, entah itu kayu beroda, entah itu laptop, entah itu papan tulis, entah itu alat musik. Yang membedakan hanyalah niat dan arah perdagangan. Ada yang sekadar mencari rupiah, ada yang mencari berkah. Ada yang sekadar menukar barang dengan uang, ada yang menukar amal dengan ridha Allah.

Maka, mari refleksi: apa bakso kita? Apa proposal kita? Apa lagu kita? Dan ke pasar mana kita membawanya? Karena pada akhirnya, kita semua sedang bertransaksi di pasar yang lebih besar dari sekadar dunia—pasar akhirat, di mana harga amal lebih mahal dari emas, dan keuntungan sejati adalah ridha Ilahi. (*)

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |