Menghadirkan Podcats Membaca Rendra untuk Generasi Milenial dan Gen-Z

5 hours ago 5

Home > Literasi Sunday, 09 Nov 2025, 15:17 WIB

Menghidupkan kembali Rendra untuk generasi sekarang dan yang akan datang adalah upaya agar Rendra menjadi pengalaman, bukan sekadar nama.

 Republika/ Darmawan)WS Rendra. (FOTO: Republika/ Darmawan)

Prolog:

Bayangkan suasana sebuah panggung sederhana di Yogyakarta pada akhir 1960-an. Di situ ada lampu redup, kursi kayu berderit, dan seorang lelaki berambut panjang berdiri dengan sorot mata tajam. Suaranya lantang, puisinya berapi-api, dan setiap kata terasa seperti peluru yang ditembakkan ke arah kekuasaan. Lelaki itu adalah Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Solo pada 7 November 1935, kelak dikenal sebagai WS Rendra—sastrawan yang mengubah wajah sastra dan teater Indonesia.

KINGDOMSRIWIJAYA-REPUBLIKA NETWORK – WS Rendra adalah penyair, dramawan, budayawan besar Indonesia dan pemikir demokrasi yang dijuluki Burung Merak. Ia mendirikan Bengkel Teater, menulis puisi dan drama yang kritis terhadap sosial-politik, dan menjadi ikon perlawanan budaya.

Namun, banyak generasi milenial dan Gen-Z kini kurang mengenalnya WS Rendra yang meninggal 6 Agustus 2009, pukul 22.20 WIB, di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok. Dikebumikan keeesokan harinya, 7 Agustus 2009, di kompleks pemakaman keluarga Bengkel Teater WS Rendra, Cipayung Jaya, Citayam, Depok, Jawa Barat. Rendra meninggal dunia tepat di awal era media sosial dan ponsel pintar mulai mendefinisikan kehidupan generasi milenial (Gen-Y) dan Generasi Z (Gen-Z).

Mengapa Generasi Milenial dan Gen-Z banyak yang tidak mengenal Rendra? Ada beberapa jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertama, perubahan media, banyak generasi ini lebih akrab dengan TikTok, Instagram, dan YouTube dan platform media sosial lainnya daripada buku puisi atau panggung teater.

Kedua, kurikulum pendidikan sastra di sekolah sering hanya disebut sekilas dalam pelajaran Bahsa Indonesia dan tanpa pengalaman langsung membaca atau menonton karya Rendra. Ketiga, komodifikasi budaya dimana seni dianggap hiburan, bukan ruang refleksi sosial. Keempat, jarak sejarah, Rendra wafat pada 2009, sehingga generasi muda tidak mengalami langsung aura panggungnya.

Ya. Ada jarak generasi yang nyata. Banyak anak muda kini tumbuh dalam ekosistem digital dengan durasi perhatian yang pendek, format vertikal, ritme cepat, dan algoritma yang menyukai yang ringan. Puisi panjang, teater penuh jeda, pembacaan yang menuntut pendengaran cermat—semua itu bersaing dengan video 15 detik. Ditambah kurikulum yang sering menempatkan sastra sebagai pelengkap, bukan pengalaman hidup. Akibatnya, Rendra menjadi nama dalam daftar, bukan suara di telinga.

Image

MASPRIL ARIES

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |