Refleksi karyawan berjalan didekat layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (1/9/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat pada senin pagi dibuka melemah 210,39 poin atau 2,69 persen ke posisi 7.620,10. Sedangkan pada penutupan IHSG masih berada zona merah ke posisi 7.736,06 atau ditutup merosot 1,21 persen dari level 7.830,49.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – JP Morgan memproyeksikan pasar modal Indonesia akan lebih mentereng pada 2026 mendatang. Perusahaan bank investasi asal AS tersebut memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa menembus level 10.000 pada tahun depan.
Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Indonesia Henry Wibowo mengatakan, proyeksi tersebut seiring dengan terlewatinya masa transisi politik pada 2025 dan peran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang akan lebih optimal.
“Setelah tahun transisi politik di tahun 2025, kami memperkirakan prospek ekuitas Indonesia yang lebih cerah di tahun 2026. Kami memperkirakan belanja Pemerintah yang lebih tinggi, baik dari anggaran fiskal maupun Danantara akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan konsumsi domestik, didukung oleh perbaikan kondisi makro global dan meredanya ketegangan geopolitik,” tulis Henry dalam laporan terbaru JP Morgan bertajuk ‘Indonesia Equity 2026 Outlook’ yang diterima Republika, Selasa (2/12/2025).
Henry menerangkan, pihaknya menetapkan target dasar IHSG pada akhir 2026 yakni sekitar 9.100—9.200, berdasarkan asumsi pertumbuhan laba per saham (EPS) sebesar 8 persen dan rasio harga terhadap pendapatan atau valuasi P/E 15 kali.
“Dengan asumsi pull and bear case masing-masing sebesar 10.000 dan 7.800,” ungkapnya.
Henry menuturkan, JP Morgan terus memperkirakan tren pelonggaran moneter yang berlanjut. Hal itu seiring dengan proyeksi bahwa Bank Indonesia (BI) bakal melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan/BI Rate pada tahun depan, menyusul telah diturunkannya BI Rate sebanyak 125 basis poin (bps) sepanjang berjalannya tahun 2025.
“Karena kami memperkirakan pemangkasan suku bunga acuan BI sebesar 50 bps tahun depan dengan prospek likuiditas sistem yang membaik,” ujarnya.
Menurut prediksinya, defisit transaksi berjalan diperkirakan tetap terkendali di bawah 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Risiko penurunan utama adalah volatilitas rupiah, yang dapat merusak kepercayaan bisnis/konsumen dan mendorong arus keluar jika depresiasi berlanjut.
“Sektor-sektor utama OW (overweight) kami memasuki tahun depan adalah industri, material, barang konsumsi pokok (non siklikal), barang konsumsi diskresioner (siklikal), dan properti,” terangnya.

50 minutes ago
1














































