Bahasa Arab dan Dakwah Digital di Era Kecerdasan Buatan

7 hours ago 5

Oleh : Muhammad Choirin, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika teknologi berlari tanpa jeda, bahasa dan dakwah Islam berhadapan dengan ujian baru: bagaimana menjaga ruh ilahi di tengah revolusi algoritma. Di era kecerdasan buatan (AI), bahasa Arab bukan sekadar alat komunikasi agama, melainkan medan strategis dalam pertarungan makna dan nilai.

Dalam forum The 11th International Conference on the Arabic Language yang diselenggarakan oleh Al-Majlis ad-Duwali lil-Lughah al-‘Arabiyyah  di Dubai tanggal 22 - 24 Oktober 2025, saya mempresentasikan riset bertajuk “Bahasa Arab di Era Kecerdasan Buatan: Analisis Bibliometrik terhadap Wacana Dakwah Digital.” Tema utama konferensi itu adalah “Bahasa Arab: Krisis Umat, Bukan Krisis Bahasa” — mengandung pesan mendalam: yang krisis bukan bahasanya, melainkan kesadaran umat terhadap bahasa wahyu itu sendiri.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Dakwah di Tengah Revolusi Digital

Bahasa Arab bukan sekadar alat komunikasi, tetapi wadah wahyu. Ia menjadi perantara antara langit dan bumi, antara firman Allah dan kesadaran manusia. Namun, di era media sosial dan kecerdasan buatan (AI), bahasa ini menghadapi ancaman yang halus tapi nyata. Dominasi bahasa global seperti Inggris dan Mandarin dalam ruang digital membuat bahasa Arab sering kali terpinggirkan, bahkan dalam wacana keislaman sendiri. Ironisnya, banyak aplikasi keislaman dan platform dakwah lebih optimal dalam bahasa non-Arab. Padahal, Islam bersumber dari teks-teks Arab yang memiliki kedalaman makna, keindahan struktur, dan ketelitian gramatika. Maka ketika konten dakwah diterjemahkan tanpa sensitivitas linguistik, pesan ilahi bisa tereduksi, bahkan tergeser oleh narasi populis yang lebih mengutamakan viralitas ketimbang kebenaran.

Penelitian saya menganalisis 103 publikasi ilmiah dalam basis data Scopus selama 2010–2024 menggunakan metode bibliometric analysis. Hasilnya menunjukkan bahwa pusat riset komunikasi berbahasa Arab justru banyak berasal dari Uni Emirat Arab (46 publikasi), Amerika Serikat (31), dan Israel (29); tiga negara dengan orientasi dan kepentingan berbeda terhadap bahasa Arab. Temuan ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, bahasa Arab kini telah menjadi objek kajian global lintas agama dan budaya, bukan hanya milik dunia Islam. Kedua, dakwah digital berbahasa Arab sedang diawasi, dikaji, dan bahkan diolah oleh pihak-pihak di luar umat Islam.

Dalam dunia AI, bahasa Arab diproses, diterjemahkan, dan dimodelkan dalam mesin yang tak selalu memahami makna spiritualnya. Bahasa wahyu tengah diotomatisasi tanpa ruh wahyu. AI dapat menghasilkan tafsir, menulis khutbah, bahkan membuat chatbot dakwah dengan gaya bahasa ustaz. Namun, di balik kecepatan itu tersembunyi bahaya reduksi makna. AI hanya mengenal pola, bukan hikmah; ia paham sintaksis, tapi buta terhadap niat dan nilai.

Dalam konteks dakwah, risiko dehumanisasi makna ini besar. Banyak konten dakwah digital viral di YouTube, TikTok, dan Instagram, tapi miskin kedalaman. Berdasarkan riset, sebagian besar konten yang disebut “islami” di platform digital hanya 42 persen yang mengandung unsur edukatif substantif; sisanya bersifat motivasional dan reaktif. Dakwah menjadi hiburan, bukan pencerahan. Padahal, dalam tradisi Islam, kata-kata bukan sekadar suara; ia adalah amanah. Dakwah bukan siapa yang paling cepat menyebar, tapi siapa yang paling benar menyampaikan.

Bahasa Arab Sebagai Pilar Dakwah Berkemajuan

Bahasa Arab memiliki keunggulan yang tidak tergantikan dalam komunikasi dakwah. Ia adalah bahasa bayân (penjelasan), hudâ (petunjuk), dan rahmah (kasih sayang). Oleh karena itu, pendakwah profesional di era digital harus memadukan penguasaan bahasa Arab dan kecakapan media digital. Riset menunjukkan bahwa kata kunci (keywords) paling dominan dalam literatur global tentang komunikasi Arab adalah communication, culture, students, dan social media. Artinya, wacana bahasa Arab kini terikat erat dengan isu budaya, pendidikan, dan interaksi digital antarbangsa. Namun, dominasi bahasa Inggris di ruang digital menyebabkan marginalisasi bahasa Arab dalam algoritma platform besar. Sistem pencarian, rekomendasi, dan bahkan speech recognition AI masih cenderung mengabaikan bahasa Arab. Ini ancaman nyata bagi visibility dakwah Islam di dunia maya.

Jika bahasa Arab terus tergeser, maka pesan Islam pun kehilangan konteks dan otoritasnya. Karena itu, umat Islam perlu memperkuat ekosistem dakwah digital berbahasa Arab; dari konten, data, hingga model AI yang memahami nilai-nilai Qurani. AI menawarkan peluang besar bagi dakwah, tapi juga membuka ruang baru bagi gharar (ketidakpastian) dan tadlîs (ketidakterbukaan). Sistem algoritma dapat memanipulasi persepsi publik melalui rekomendasi video, pengelompokan narasi, atau moderasi yang bias.

Oleh karena itu, saya menekankan perlunya kolaborasi multidisipliner antara ahli komunikasi Islam, linguistik Arab, dan pengembang teknologi AI untuk memastikan pesan dakwah tetap otentik dan etis. Dakwah digital bukan hanya soal viralitas, tapi soal verifikasi, validitas, dan nilai. Sebagaimana ditegaskan dalam hasil penelitian: “Kecepatan distribusi informasi keagamaan sering kali tidak diiringi dengan kedalaman makna dan ketepatan pesan.” Artinya, tugas da’i masa kini bukan sekadar membuat konten, tetapi menjaga makna di tengah arus disrupsi,

Membangun Dakwah Digital Muhammadiyah

Fenomena yang kita hadapi hari ini adalah banjir informasi dan kekeringan makna. Dakwah yang dulunya menuntut kesabaran dan proses belajar kini sering bergeser menjadi hiburan spiritual instan. Video pendek, potongan ayat, atau kutipan motivasi keagamaan sering kali viral tanpa disertai konteks ilmiah yang memadai. Inilah tantangan terbesar dakwah digital: bagaimana menghadirkan konten cepat yang tetap dalam. Para dai Muhammadiyah perlu tampil dengan pendekatan yang cerdas; menggunakan teknologi untuk memperluas jangkauan, tetapi tetap menegakkan integritas ilmiah dan nilai amar ma‘ruf nahi munkar.

Kini mimbar dakwah tidak lagi hanya di masjid, tapi juga di ruang maya: YouTube, Instagram, TikTok, hingga metaverse. Masing-masing memiliki audiens, algoritma, dan gaya komunikasi berbeda. Tantangannya, bagaimana memastikan bahwa ketika umat berinteraksi dengan “dunia baru” ini, mereka tidak kehilangan arah spiritual. Gerakan dakwah Muhammadiyah dapat mengambil peran strategis dalam membangun ekosistem dakwah digital berbahasa Arab yang otentik dan berkemajuan. Bayangkan jika ada AI-based da’wah hub yang menampilkan tafsir Qur’an digital dalam bahasa Arab, Indonesia, dan Inggris, dengan pendekatan maqashid syariah dan rahmatan lil ‘alamin. Itulah masa depan dakwah berkemajuan: bukan sekadar meniru teknologi, tetapi mengislamkannya; mengubah AI dari artificial intelligence menjadi akhlaq intelligence.

Bagi Muhammadiyah; dengan semangat “Islam berkemajuan”, transformasi digital dakwah bukan pilihan, tetapi keharusan. Kita memerlukan mujtahid digital yang memahami syariat dan algoritma sekaligus. Para dai masa depan harus mampu menavigasi ruang maya dengan adab, akal, dan amal. Langkah strategis yang direkomendasikan hasil riset di Dubai antara lain: 1. Pelatihan intensif bagi para da’i dalam bidang literasi digital, AI ethics, dan komunikasi strategis. 2. Pembangunan platform dakwah digital berbasis bahasa Arab dengan sistem kecerdasan buatan yang diawasi oleh ulama dan akademisi. 3. Kerja sama lintas negara dan disiplin ilmu antara lembaga dakwah, universitas, dan pengembang teknologi untuk menguatkan ekosistem dakwah Arab global. Dengan strategi ini, dakwah Islam bisa menjadi aktor peradaban digital, bukan sekadar penumpang algoritma.

Krisis Kesadaran, Bukan Krisis Bahasa

Dari seluruh temuan itu, saya menyimpulkan: krisis bahasa Arab sejatinya bukan linguistik, tetapi epistemologis dan spiritual. Bahasa Arab tetap kuat, tetapi kesadaran umat untuk menggunakannya sebagai bahasa ilmu dan dakwah mulai memudar. Bahasa ini bukan sekadar sarana teologis, melainkan instrumen peradaban. Ketika umat Islam meninggalkannya, yang hilang bukan hanya komunikasi, tapi identitas. Kecerdasan buatan mungkin bisa meniru khutbah, tapi hanya kecerdasan beriman yang dapat menyalakan kembali cahaya dakwah.

Era kecerdasan buatan menuntut kecerdasan ruhani. Bahasa Arab sebagai bahasa wahyu tetap menjadi kunci menjaga otentisitas pesan Islam. Namun, agar ia tetap hidup dan berpengaruh, bahasa itu harus hadir dalam ruang digital secara bermartabat. Sebagaimana ditegaskan dalam konferensi internasional di Dubai, krisis yang kita hadapi bukanlah krisis bahasa, tetapi krisis kesadaran umat terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Maka tugas kita bukan hanya mengajarkan bahasa Arab, tetapi menghidupkan kembali maknanya dalam praksis dakwah.

*) Muhammad Choirin juga merupakan Anggota Komisi Dakwah MUI Pusat. Pemakalah pada The 11th International Conference on the Arabic Language, Dubai, 22 - 24 Oktober 2025.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |