CANTIKA.COM, Jakarta - Mengapa banyak pasangan terlihat bahagia di media sosial, tapi akhirnya berpisah di dunia nyata? Hal itu dialami oleh sejumlah pasangan antara lain Raisa dan Hamish Daud serta Acha Septriasa dan Vicky Kharisma. Psikolog Anisa Cahya Ningrum menjelaskan akar psikologis di balik fenomena ini.
Dalam era digital, kebahagiaan sering kali terasa harus bisa dibuktikan lewat unggahan di media sosial. Pose mesra, caption manis, dan potret keluarga bahagia menjadi semacam “bahasa cinta publik” yang kini dianggap wajar. Namun, tak sedikit pasangan yang tampak harmonis di layar justru menyimpan badai di baliknya bahkan berakhir di meja perceraian.
Psikolog Anisa Cahya Ningrum menilai fenomena ini bukan hal baru, melainkan refleksi dari tekanan sosial dan kebutuhan akan citra ideal. “Biasanya karena posisi atau peran sosial yang menuntut demikian,” ujar Anisa kepada Cantika, Minggu, 2 November 2025.
Para figur publik, menurut Anisa merasa perlu tampil sebagai sosok ideal yang diharapkan penggemar atau orang-orang di sekitarnya. Kadang juga karena masih dalam tahap penyangkalan (denial) terhadap kondisi rumah tangganya sendiri.
Tekanan Sosial dan Pencarian Validasi
Menurut Anisa, tekanan sosial sering kali muncul dari dalam diri, bukan dari lingkungan.Mereka berasumsi publik mengharuskan mereka selalu tampak sempurna, padahal sebenarnya tidak ada tuntutan itu. “Khususnya bagi pasangan yang belum matang secara emosional. Mereka merasa harus terlihat bahagia karena masih membutuhkan validasi dari orang lain,” katanya.
Fenomena ini juga berkaitan dengan toxic positivity yakni kecenderungan untuk menolak emosi negatif dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. “Mereka merasa tidak boleh bersedih, kecewa, atau berkonflik. Bahkan ketika ada yang berkata, ‘Jangan menyerah, pasti bisa diselesaikan kok,’ itu bisa jadi tekanan baru,” jelas Anisa.
Alih-alih menyembuhkan, dorongan untuk terus terlihat bahagia justru membuat pasangan menekan emosi, yang pada akhirnya bisa menjadi bom waktu dalam hubungan yang berakhir pada perceraian.
Ekspektasi yang Dibentuk oleh Media Sosial
Peran media sosial sendiri, menurut Anisa, amat besar dalam membentuk ekspektasi rumah tangga modern. “Sering kali yang terlihat di media sosial membuat seseorang menganggap hubungan orang lain begitu ideal. Akibatnya, muncul ekspektasi tidak realistis terhadap pasangan sendiri,” ujarnya.
Pasangan yang belum matang secara emosional akan kesulitan menerima dinamika alami dalam pernikahan bahwa konflik adalah hal normal, bukan tanda kegagalan.
Ketika realitas hidup jauh dari citra yang dibangun di dunia maya, dampaknya bisa berat. “Sejatinya mereka tidak nyaman, tapi berusaha terus tampil baik. Lama-lama hal ini bisa menimbulkan stres, depresi, bahkan gangguan kecemasan,” ungkap Anisa.
Beberapa pasangan berharap keajaiban dengan menunggu pasangannya berubah menjadi versi ideal yang mereka bayangkan tanpa benar-benar berkomunikasi atau berbenah diri.
Hubungan Ideal yang Bisa Jadi Ilusi
Apakah “hubungan sempurna” di media sosial justru mempercepat keretakan rumah tangga? “Tidak selalu,” kata Anisa. “Jika keduanya terus meng-upgrade diri untuk saling memberi yang terbaik, hubungan itu bisa sehat. Tapi kalau hanya menuntut pasangan berubah, tanpa keinginan memperbaiki diri, di situlah masalah muncul.”
Bagi Anisa, kuncinya adalah kesadaran dan kesepakatan bersama. “Pasangan perlu menyortir mana hal yang pantas dibagikan ke publik, dan mana yang cukup disimpan berdua,” sarannya.
Hal sederhana seperti meminta izin sebelum menandai pasangan di unggahan, atau menghindari pembahasan soal keuangan dan konflik rumah tangga di ruang publik, bisa jadi langkah kecil untuk menjaga privasi sekaligus kesehatan mental.
Pilihan Editor: 5 Stages of Grief dalam Perceraian, dari Denial hingga Tahap Penerimaan
Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika.











































